Pernahkan Anda menyaksikan dua anak duduk berdampingan seperti si Joni dan si Jono? Meski dari sekolah yang berbeda, rapor keduanya sama-sama berderet angka sembilan, tetapi ketika diminta memecahkan persoalan logika sederhana, hasilnya berbeda jauh. Di situlah kita mulai bertanya: Apakah angka-angka di rapor mampu menyingkap kemampuan sejati seorang murid?
Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan kita seperti berdiri di persimpangan. Antara keinginan menjaga objektivitas dan kenyataan bahwa standar penilaian tiap sekolah berjalan dengan irama sendiri-sendiri. Untuk menjawab keggelisahan itu. lahirlah Tes Kamampuan Akademik (TKA)—sebuah ikhtiar menegakkan keadilan di ruang seleksi.
Mengapa rapor saja tidak cukup?
Rapor adalah cermin, tetapi setiap cermin memantulkan wajah dengan sudut berbeda. Ada sekolah yang ketat menakar pencapaian murid. Ada pula yang longgar memberi nilai. Akibatnya, murid dari sekolah yang ketat dalam menilai tampak kalah bersaing dibanding murid dari sekolah yang longgar menilai.
TKA hadir sebagai jembatan: skor yang terstandar, yang bisa dibandingkan lintas sekolah, lintas daerah, bahkan lintas pengalaman belajar. Ia bukan angka baru, melainkan upaya menegakkan rasa adil.
TKA bukanlah monster yang menakutkan murid. Ia lebih mirip kompas yang menunjukkan arah. Ada misi besar di baliknya:
- Stop hafalan, mulai berpikir. Guru diajak mengajar bukan hanya sekadar menghafal, melainkan melatih cara berpikir tingkat tinggi—memecahkan masalah, memahami konsep, merangkai logika.
- Pemetaaan mutu: Bersama Asesmen Nasional, TKA menjadi peta jalan, menunjukkan di mana kualitas belajar kita kuat, dan di mana masih lemah.
- Pengakuan kesetaraan: Bagi anak-anak yang belajar di jalur nonformal atau informal, TKA adalah tiket sah menuju pengakuan pemerintah.
Untuk jenjang Sekolah Dasar, TKA hanya menguji dua mata pelajaran wajib—Bahasa Indonesia dan Matematika—dengan kedalaman yang menyingkap kemampuan dasar. Ia bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk memastikan bahwa nilai-nilai yang kita lihat benar-benar menceriminkan kemampuan nyata.
Dengan adanya TKA, kita berharap pendidikan tidak lagi sekadar melahirkan angka di atas kertas. Ia harus melahirkan keadilan, menyingkap kemampuan sejati, dan memberi ruang bagi setiap anak untuk berdiri dengan kepala tegak.

2 Comments
Yang terpenting bagaimana guru bisa mengubah strategi pembelajarannya. Kemampuan pedagogis guru perlu ditingkatkan. Pendekatan konstruktivis perlu diterapkan melalui pembelajaran berbasis proyek, berbasis masalah, dan inquiry.
ReplyDeleteSepakat, guru adalah kunci utama, kompetensi harus terus diasah dan ditingkatkan. Kepala sekolah dan lingkungan belajar yang positif harus selalu dihadirkan agar terjadi perubahan yang lebih baik.
Delete