Di sana, kita bertemu dengan apa
yang disebut para pendidik sebagai Taksonomi SOLO (Structure of Observed
Learning Outcomes). Ia bukan sekadar teori yang kaku di atas meja seminar.
SOLO adalah sebuah peta tentang kedalaman. Ia bicara tentang bagaimana pikiran
tumbuh, selapis demi selapis.
Pada mulanya adalah
"Prastruktural"—sebuah masa di mana pengetahuan masih berupa fragmen
yang kacau, yang belum menemukan bentuknya. Lalu, perlahan-lahan, anak-anak
kita menaiki anak tangga: dari sekadar tahu satu hal (Unistruktural),
mulai mengumpulkan serpihan-serpihan fakta (Multistruktural), hingga
tiba pada sebuah momen yang magis: ketika segala yang terpisah itu mulai saling
menyapa dan terhubung (Relasional).
Namun, puncak dari pendakian ini
adalah apa yang disebut "Abstrak yang Diperluas". Di titik ini,
pengetahuan tak lagi terpenjara dalam ruang kelas. Ia menjadi sayap. Seorang
anak tak lagi sekadar tahu bahwa hutan itu hijau; ia mulai gelisah melihat
bagaimana gergaji mesin dan keserakahan manusia bisa mengubah warna hijau itu menjadi abu
bagi masa depan. Di sana, belajar menjadi sebuah sikap etis.
Jika SOLO adalah tentang
kedalaman sumur pemahaman, maka Benjamin Bloom menawarkan kita sebuah horison:
tentang tujuan. Taksonomi Bloom, dalam versinya yang telah direvisi, mengajak
kita untuk tidak berhenti pada "Mengingat". Sebab, ingatan tanpa
pengolahan hanyalah gudang tua yang berdebu. Bloom mendorong kita untuk
melampaui itu: dari "Memahami" hingga akhirnya sampai pada keberanian
untuk "Mencipta".
Ada sebuah percakapan yang halus
antara SOLO dan Bloom. Yang satu mengukur dasar, yang lain menunjuk ke langit.
Seorang anak yang berada pada tahap Relasional dalam SOLO, barangkali
sedang sibuk "Menganalisis" di peta Bloom. Dan mereka yang sudah
sampai pada tahap Abstrak yang Diperluas adalah mereka yang sudah siap
untuk "Mengevaluasi" dan melahirkan sesuatu yang baru ke dunia.
Pada akhirnya, belajar bukanlah
tentang siapa yang paling cepat sampai ke garis finis. Belajar adalah tentang
makna. Tentang bagaimana seorang manusia tumbuh menjadi pribadi yang tidak
hanya sanggup menjawab soal, tetapi sanggup merajut makna dari kehidupan yang
sering kali tampak tercerai-berai. Karena jika pendidikan hanya menghasilkan
deretan angka tanpa jiwa, maka kita sebenarnya sedang membangun sebuah
peradaban yang lupa cara berpikir.

0 Comments