Ada
sesuatu yang ganjil dalam ruang-ruang kelas kita hari ini: sebuah ritual yang
disebut "ngaji". Ngaji itu bukan mengaji kitab suci, melainkan
"ngarang biji" atau mengarang nilai. Di sana, angka-angka lahir bukan
dari keringat pemahaman, melainkan dari ujung pena yang ragu, atau mungkin dari
rasa lelah yang tak tertanggungkan. Angka-angka itu berderet di atas kertas
rapor, tampak rapi, namun seringkali ia adalah sebuah dusta yang sunyi.
Kita tahu, pendidikan sering kali terjebak dalam obsesi pada hasil akhir yang terukur. Dalam birokrasi pendidikan yang kaku, angka dianggap sebagai satu-satunya bukti bahwa belajar telah terjadi. Namun, ketika guru-guru kita kehilangan pegangan pada teknik penilaian, angka itu berubah menjadi sekadar topeng.
Persoalannya bermula dari sebuah
kekeliruan yang mendasar. Ketidakmampuan guru membedakan mana yang
"formatif" dan mana yang "sumatif". Di banyak sekolah,
kedua makhluk ini dicampuradukkan dalam satu kuali yang keruh.
Asesmen formatif, sejatinya, adalah
sebuah percakapan. Ia adalah momen ketika seorang guru melihat muridnya
tersandung pada sebuah rumus matematika atau salah mengeja cerita fiksi, lalu
membantunya berdiri. Ia adalah kompas yang menunjukkan arah, bukan vonis. Di
sana, kesalahan diperbolehkan, bahkan dirayakan sebagai bagian dari
pertumbuhan. Formatif adalah proses yang cair, sebuah perjalanan yang belum
selesai.
Namun, yang terjadi adalah
penyimpangan. Data formatif, latihan-latihan kecil yang penuh coretan, kuis
yang dimaksudkan untuk pemetaan, justru diseret paksa masuk ke dalam kolom
nilai rapor. Padahal, rapor seharusnya adalah muara dari asesmen sumatif,
sebuah potret akhir dari apa yang benar-benar telah dikuasai setelah sebuah
babak kehidupan belajar usai.
Ketika data ini campur aduk, nilai
rapor menjadi seperti masakan yang kehilangan rasa. Ia tidak lagi mencerminkan
kompetensi. Ia hanya rata-rata dari kekacauan. Dan dalam kebingungan mengolah
data yang tidak keruan itu, sebagian guru mengambil jalan pintas:
"ngaji". Mereka mengisi kolom-kolom kosong itu dengan angka yang
dianggap aman, angka yang memuaskan kepala sekolah, atau angka yang membuat
orang tua tidak bertanya-tanya.
Dampaknya adalah sebuah pengkhianatan kecil terhadap masa depan. Murid tidak mendapatkan umpan balik yang tepat. Seorang anak yang sebenarnya butuh bantuan untuk menganalisis hubungan antar komponen biotik dan abiotik serta pengaruhnya terhadap ekosistem, bisa saja pulang membawa nilai 80 di kertasnya. Ia merasa sudah mengerti, padahal ia sedang berjalan di atas jembatan yang rapuh. Ia kehilangan kesempatan untuk diperbaiki, karena "cermin" yang diberikan gurunya adalah cermin yang retak.
Kita mungkin harus bertanya kembali:
untuk apa sebenarnya kita menilai? Jika penilaian hanya dianggap sebagai beban
administratif, maka "ngaji" akan terus menjadi pelarian yang
menggoda. Namun, jika kita melihat penilaian sebagai sebuah cara untuk
"melihat" manusia lain secara utuh, maka kejujuran adalah harga mati.
Solusinya tentu tidak bisa hanya
sekadar perintah dari atas. Kita butuh sebuah rekontekstualisasi dalam ruang
guru. Guru perlu dibantu untuk menyederhanakan cara mereka melihat data.
Digitalisasi penilaian memang penting, namun yang lebih mendesak adalah
pemulihan logika penilaian itu sendiri. Guru harus kembali berani memberikan
catatan kualitatif, bukan sekadar angka mati. Mereka harus memahami bahwa nilai
rapor yang jujur, betapapun pahitnya, jauh lebih berharga daripada deretan
angka 90 yang lahir dari imajinasi.
Pada akhirnya, pendidikan adalah
tentang membangun kepercayaan. Ketika seorang guru memberikan nilai, ia sedang
memberikan sebuah janji tentang kemampuan seorang manusia. Jika janji itu
palsu, maka seluruh bangunan pendidikan kita akan berdiri di atas fondasi yang
keropos.
Mungkin kita perlu berhenti sejenak
dari keriuhan administrasi dan bertanya pada diri sendiri: apakah kita sedang
mendidik manusia, atau sedang mengisi kolom-kolom Excel? Karena di balik setiap
angka dalam rapor, ada seorang anak yang menunggu untuk benar-benar dikenal,
bukan sekadar dikira-kira.
Terima kasih untuk guru yang berani jujur dan selalu belajar untuk lebih baik.
.png)
0 Comments