![]() |
Foto Alapakguru |
Menjadi guru bukanlah pilihanku
satu-satunya. Ada banyak cita-cita dan harapan yang pernah aku impikan. Ketika
itu masih duduk aku di bangku kelas III Madrash Ibtidaiyah, sekolah pilihan
hatiku. Pilihan karena memang ini benar-benar pilihanku. Dari empat bersaudara,
hanya akulah satu-satunya yang memilih sekolah di Madrasah Ibtidaiyah. Ketika
itu ayahku memberikan pilihan untukku, sekolah di timur atau di barat. Timur
untuk menyebut “Sekolah Dasar” karena berada di sebelah timur rumahku dan barat
untuk menyebut “Madrasah Ibtidaiyah” karena berada di sebelah barat rumahku.
Keduanya sama tak begitu jauh dari rumahku. Ini keputusan luar biasa bagiku,
karena sejak aku belum sekolah, kakakku laki-laki selalu menggendong dan mengajakku
sekolah di SD. Hingga salah satu guru kakakku memilihkan panggilan untukku
“murid kecil”. Lingkungan sekolah yang sudah akrab dan kuhabiskan hari-hariku tak
mampu membujukku untuk berpihak menentukan pilihan sekolahku kemudian.
Di kelas III Madrasah ibtidaiyah inilah
yang mempertemukan diriku dengan Ibu Masitin. Duduklah aku di sana, tepat
dibangku nomor 2 bersama teman-teman kelasku.
Waktu itu jam pertama, Ibu Masitin
mengucapkan salam dengan lembut dan penuh keibuan. Menatap dan memandang tubuhku
penuh makna. Tiba giliranku “Zam, apa cita-citamu kelak?” Berdetak jantungku
sambil terbata “Guru”, ia cita-citaku menjadi guru.
Guru, itulah pilihanku. Cita-cita dan
kebanggaanku kelak. Aku bisa memberi manfaat untuk banyak orang, mendidik dan
mengajar. Cita-cita pilihan hati ini aku ceritakan pada Ibuku pada bapakku. Ibu
aku ingin menjadi guru. Ibu yang pernah menjadi guru sekolah dasar di Madiun,
waktu masih muda, menimpali perkataanku “kalau mau jadi guru itu harus pandai,
maka kamu harus rajin belajar!”
Tiap kali bermain bersama teman-temanku,
aku seperti benar-benar telah menjadi guru di antara teman-temanku. Memberi
nasihat, berbicara santun, dan selalu mengajak berbuat baik. Aku dan teman-teman selalu membicarakan
cita-cita dan harapan kelak setelah dewasa nanti.
Pertanyaan Ibu Masitin seperti telah
memasuki alam bawah sadarku. Menghunjam begitu dalam dibenakku. Walau hanya
satu kalimat sederhana tentang cita-cita. Begitu kuatnya aku ingin
mewujudkannya. Tak lelah diriku setiap pulang sekolah, langsung membaca buku
kedua kali sebagaimana pesan ibuku.
Baca juga Ada Gerih Garing di Days Hotel
Hari-hari berlalu, aku dan sahabatku yang gemar bermain layang-layang di pinggiran sungai depan rumahku. Menatap layang-layang dihempas angin meliuk-liuk diangkasa seperti ramai, bercerita tentang diriku kelak menjadi guru.
Hari-hari berlalu, aku dan sahabatku yang gemar bermain layang-layang di pinggiran sungai depan rumahku. Menatap layang-layang dihempas angin meliuk-liuk diangkasa seperti ramai, bercerita tentang diriku kelak menjadi guru.
Tiba saatnya aku duduk di kelas VI,
lingkungan rumah telah mempengaruhiku perlahan. Banyak ibu-ibu yang menjuluki aku
seperti hakim. “Zam, kamu itu pantas jadi hakim.” Kata-kata itu sering aku
dengar ketika aku bermain ke rumah teman-temanku. Mulailah diriku ragu dengan
cita-cita yang dulu. “Ia, aku seperti hakim. Ketika pakai peci hitam.” He..hee…aku
tertawa sendiri dalam hati.
Kini diriku telah memasuki Madrasah
Tsanawiyah, teman-teman pergaulanku semakin banyak. Buku-buku yang ku baca
lumayan meningkat. Perpustakaan menjadi tempat favoritku. Membaca buku sejarah
perkembangan transportasi, penemuan-penemuan oleh tokoh-tokoh dunia menjadi
kegemaranku. Pengetahuanku kian bertambah. Aku ingin jadi penemu agar kelak dikenal
banyak orang. Suatu ketika aku Pak Asrory menceritakan tentang tokoh-tokoh
terkemuka Indonesia. Cak Nur, ia Nur Kholis Majid. Saat itu yang aku tahu Nur
Kholis Majid sebagai cendikiawan muslim Indonesia. Aku mengidolakannya, pintar
dan islami. Aku ingin menjadi cendekiawan. Untuk itu aku harus menguasai
ilmu-ilmu agama. Ia aku telah memutuskan pilihanku untuk menjadi cendikiawan.
Mondok…belajar dipondok adalah pilihanku
selanjutnya. Niat dan keingianku aku sampaikan kepada Bapak dan Ibuku. Setelah
lulus Madrasah Tsanawiyah aku akan belajar ilmu agama di Pondok. “Kamu, serius
ingin mondok?” tanya ibuku. “iya bu” aku telah mantab memilih belajar di
pondok. Pondok Sarang Rembang, menjadi pilihanku. Iya, semoga kelak aku bisa
mewujudkan harapanku menjadi cendikiawan.
Baca juga Di Atas Awan Cumullus Bersama GA 311
Baca juga Di Atas Awan Cumullus Bersama GA 311
Suatu ketika typus menderaku. Mual-mual,
panas dan deman menjalar ditubuhku. Teman-teman mencoba mengantarku ke
puskesmas. Setelah beberapa hari, typusku belum juga mereda. Tidak mau
mengambil resiko. Teman-teman mengantarku untuk pulang.
“Zam, kapan pulang?” tanya sesosok ibu
guru, yang tak pernah aku lupa. Ibu Masitin sambil mengambil daun kedondong
yang masih muda di samping rumahku. “Sudah seminggu, bu.” jawabku. “Aku sakit, bu.” Aku menjelaskannya singkat. Aku
mendekati dan mencium tangannya yang lembut. “Semoga cepat sembuh, supaya cepat dapat
kembali kembal ke pondok.”
Tubuhku yang kurus dan kecil ternyata
membuat berat hati ibuku untuk jauh lagi denganku. Ibu akhirnya memintaku untuk
melanjutkan sekolah di Bojonegoro saja.
Tiba-tiba tanpa bertanya aku lagi,
bapakku telah memilihkan sekolah untuku. Madrasah Aliyah menjadi pilihan
bapakku. Kali ini aku harus menerima, walaupun berat rasanya. Tetap dalam
hatiku aku tetap ingin menjadi cendikiawan yang paham ilmu-ilmu agama. Suatu
saat aku harus kembali ke pondok lagi.
Sedikit demi sedikit uang sekolahku aku
simpan. Dengan harapan kalau sudah cukup akan aku bawa bekal untuk kembali ke
pondok. Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diminta. Uang yang aku
kumpulkan tanpa aku sadari jatuh dari bawah almari bajuku. Bibiku telah
melaporkan kejadian ini kepada ibuku. Gagallah keinginanku untuk kembali ke
pondok lagi.
Hari-hari sekolahku saat luang aku
habiskan untuk menggambar sebagai kegemaranku sejak kecil. Aku memang senang
dan memiliki bakat menggambar. Hingga tiga tahun hampir tak terasa. Kegemaranku
telah merubah diriku. Aku ingin menjadi seniman. Hingga seringnya aku bolak
balik Surabaya, Malang, Jogja, hanya untuk melihat karya-karya lukisan di
pameran.
Ibu Sriningsih, guru Bimbingan Konseling
yang aku anggap sebagai ibuku kedua. Suatu ketika memanggilku dan berkata
“Kamu, nanti mau saya kuliahkan? Gratis, kuliah ikut bapak di Malang.” “Kuliah
apa tanyaku?” “Di IAIN jawabnya” “Maaf, bu. Sekarang aku ingin jadi seniman,
aku ingin kuliah di ISI Jogja.” Sambil memelukku Ibu Sriningsih meyakinkan aku.
“Ya sudah kalau itu pilihanmu” Dengan berat hati ibu Sriningsih berkata, “kamu
sudah ibu anggap seperti anakku sendiri.”
Baca juga Jamaah yang Tercecer
Baca juga Jamaah yang Tercecer
Lulus,..lulus, hari ini aku benar-benar
telah lulus Madrasah Aliyah, aku melihat sendiri di papan pengumuman ada namaku
jelas terbaca di sana. Tak lama kemudian resepsi perpisahan sekolah di adakan.
Perasaan senang, bahagia, haru dan sedih menjadi satu. Saat Ibu Sriningsih
memberikan sambutan sebagai perwakilan dari guru. Beliu berkata, “Dari sekian
banyak anak-anakku yang ibu sayangi. Ada satu yang paling ibu sayang. Dialah
yang paling nakal.” Tiba-tiba air mataku berjatuhan seperti embun yang yang
menetes di pucuk daun jambu. Aku teringat selama tiga tahun aku sering keluar
masuk ruangan Ibu Sriningsih untuk mendapatkan BP. Ternyata aku yang terkenal
diam ini termasuk anak nakal. Tak apalah yang penting baik, aku membela diri
dalam hati.
Setelah lulus Madrasah Aliyah, bapakku
dan saudara-saudaraku tak ada yang setuju aku melanjutkan kuliah jurasan seni.
Selain itu aneh, tentu alasan biaya bagi orang seperti aku yang termasuk
keluarga pas-pasan.
Hari-hariku kuhabiskan bersama
teman-teman kecilku yang kini telah remaja. Ibu-ibu yang dulu sering memujiku
pantas menjadi hakim, mengisi hari-hariku saat tak ada kegiatan setelah lulus
sekolah.
Suatu hari Ibu Masitin memanggilku dan
mengutarakan maksudnya. “Zam, kamu mau menjadi guru?” “Guru, tanyaku dalam
hati. Apa aku bisa?” “Saya pikir-pikir dulu, bu”
Setelah pulang aku sampaikan pada
Bapakku. “Apa aku bisa menjadi guru, Pak?” dengan lembut Bapak menjawab “Pasti
bisa” kamu kan lulusan aliyah masak tidak bisa jadi guru madrasah.
Mulailah aku melangkah pertama kali di sekolah sebagai
guru. Menjadi guru ternyata bukan pekerjaan mudah. Selain bisa mengajar dan
mendidik murid-murid. Guru juga harus bisa mengambil keputusan. Menyusun visi
dan misi ke arah mana akan membentuk sekolah yang benar-benar berkualitas.
Tak terasa dua tahun sudah aku menjadi
guru. Hingga suatu ketika ada tawaran beasiswa kuliah di IAIN Surabaya. Salah
satu namaku ada di sana. Namun karena ada perbedaan visi dan misi di madrasah
tersebut aku putuskan untuk keluar. Dan tidak mengambil beasiswa tersebut.
Setelah keluar menjadi guru, aku mencoba
peruntungan berjualan komputer. Dari sekolah ke sekolah. Dari kantor satu ke
kantor lainnya. Hingga aku bertemu mahasiswa Diploma II jurusan PGSD di Malang.
Ia bercerita setelah lulus kuliah akan diangkat menjadi Guru Negeri. Terlintas
di otakku “enak sekali kuliah di sini, setelah kuliah dapat pekerjaan.” Andai
aku bisa kuliah di sini, betapa mudah aku bisa menjadi guru.
Baca juga Ramadan Terakhir
Baca juga Ramadan Terakhir
Setahun kemudian bapakku meninggal. Aku
seperti orang yang benar-benar kuat untuk hidup sendiri. Walau sebenarnya
sangat rapuh. Aku tabung sedikit demi sedikit hasil keringatku. Aku berniat
akan kuliah diploma untuk menjadi guru.
Seiring berjalannya waktu tabunganku sudah cukup untuk membayar biaya kuliah. Aku ikut mendaftar dan Alhamdulillah diterima. Satu nama tertempel di papan pengumuman. Namaku ada di sana. Air mataku mengucur deras. Ingatanku kemana-mana. Tuhan telah menakdirkan aku sebagai guru. Cita-citaku waktu kecil. Yang telah menghunjam di hati dan tercatat di sana. Semua karena berkat pertanyaan Ibu Masitin. Ibu guruku. Ibuku yang telah mengabdikan hidupkan menjadi guru.
Seiring berjalannya waktu tabunganku sudah cukup untuk membayar biaya kuliah. Aku ikut mendaftar dan Alhamdulillah diterima. Satu nama tertempel di papan pengumuman. Namaku ada di sana. Air mataku mengucur deras. Ingatanku kemana-mana. Tuhan telah menakdirkan aku sebagai guru. Cita-citaku waktu kecil. Yang telah menghunjam di hati dan tercatat di sana. Semua karena berkat pertanyaan Ibu Masitin. Ibu guruku. Ibuku yang telah mengabdikan hidupkan menjadi guru.
0 Comments