Tuhan tak
mengada-ada ketika menggerakkan kaki makhluk-Nya melangkah. Apa yang dilakukan
makhluk-Nya telah menjadi perencaanan yang matang. Semua rahasia itu telah
dituliskan di buku diri setiap penciptaan-Nya.
“Pak berangkat jam berapa?” Tanyaku pada Pak
Suparman, salah satu guru SD yang tinggal di kota soto Lamongan.
“Aku ikut saja, Pak. Bagaimana baiknya saja.” Jawab
Pak Suparman dengan nada pasrah.
“Baik, Pak. Kalau begitu aku lihat-lihat jadwal
penerbangan dulu,” sembari menelusuri informasi di dunia maya. Aku juga minta
bantuan saudaraku yang tinggal di Sidoarjo untuk membelikan tiket pesawat yang
pas dengan jadwalku. Aku harus memperhitungkan lamanya perjalananku ke Juanda
dan Soekarno-Hata ke Days Hotel and Suite.
***
Hari Selasa 27 Februari 2018 pukul 10.05 burung besi
Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA311 telah siap mengantarkanku
bersama Pak Suparman ke Jakarta. Kami berdua duduk di seat samping jendela bersebelahan di kabin kelas ekonomi. Wajah
sumringah tak henti-hentinya terpancar dari muka kami. Mesin garuda yang sejak
tadi telah menderu-deru menandakan pesawat akan segera lepas landas. Tak berapa
lama papan monitor di depanku tertulis sedang ada pengumuman. Headset yang terpasang di kedua
telingaku terdengar suara yang sangat ramah sedang menginformasikan kepada
semua penumpang agar mematuhi aturan keselamatan.
“Tuhan, aku bersyukur dengan semua ini. Tak pernah
terbersit meski sedikit saja dapat naik burung besi yang menjadi kebanggaan
negaraku ini,” gumamku dalam hati. Meski ini bukan kali pertama tetap saja aku merasakan
istimewa.
Sabuk pengaman telah melingkar di pinggangku, headset
telah menempel di kedua telingaku, Pesawat GA 311 Air Bus ini telah membawaku
mengangkasa menerobos awan putih. Semua tampak jelas dengan kondisi cuaca yang
cerah ini. Kini aku mulai berada di atas ketinggian Kota Surabaya. Perlahan
pemandangan Kota Surabaya mulai menjauh dari pandanganku berganti dengan hamparan
cumulus seperti sulaman permadani
putih. Cirrocumulus dan altocumulus tak kalah mengagumkan. Di
balik jendela ini aku tak henti-henti memandanginya sembari mengulang kata
subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallahu Allahu akbar.
“Ingin bersujud di bawah sana. Tuhan, begitu besar
keagungan-Mu dengan menciptakan hal sedemikian indah dengan kuasamu,” pikirku pun
mengangkasa bersamaan menikmati keindahan aneka rupa awan-awan yang tak pernah
ada habisnya. Sesekali burung besi ini merendah, tampak bengawan solo
meliuk-liuk dengan warna kecokelatan menandakan tengah menunjukkan kegusarannya.
“Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi pada
anak-anak yang tengah merajut mimpi-mimpinya di sekolah-sekolah pinggiran
bengawan,” harapku dengan cemas. Maklum saja beberapa hari yang lalu temanku baru
saja menerima surat tugas menjadi Kepala Sekolah di tempatkan di sekolah pinggiran
Bengawan Solo yang menjadi langganan banjir saat debit air bengawan meningkat
dengan cepat. Ia bercerita melalui gawai kalau sekolahnya kebanjiran setinggi
dada orang dewasa. Aku hanya bisa menghiburnya dengan mengharap agar tetap
bersabar dan memberi semangat dalam mengantarkan anak didiknya meraih masa
depan.
Pak Suparman sepertinya tahu apa yang sedang aku
pikirkan, ia bercerita baru saja di daerah Lamongan ada seorang anak sekolah
yang tenggelam terbawa arus Bengawan Solo. Ya Allah, hatiku hanyut dalam
kesedihan. “Berikan tempat di surga-Mu dan sabarkan hati keluarganya,” doaku
dalam diam.
Aku jadi teringat, Kang Yoto pernah menyampaikan
pesan pentingnya anak-anak yang berada di pinggiran Bengawan Solo diajari cara
berenang yang baik. Ada dua alasan pentingnya anak-anak di pinggiran Bengawan
Solo dapat berenang. Pertama sebagai alasan fungsional, jika anak-anak dapat
berenang dengan baik tentu dapat mengurangi bahaya terhanyut jika terjadi
banjir. Kedua alasan kontekstual, tidak dapat dipungkiri takdir anak-anak di
Bojonegoro yang berada di daerah pinggiran Bengawan Solo harus bisa
mengeksplorasi keterampilan berenangnya agar kelak lahir anak-anak berprestasi
di bidang renang. Sudah diakui Kang Yoto sangat pandai memberikan motivasi. Di dalam
segala keadaan kita harus harmoni dengan kondisi alam yang merupakan takdir
Tuhan. Banjir tentunya bukan hal tidak bisa dihindari, tapi begitulah faktanya.
Bojonegoro merupakan daerah langganan banjir.
***
Kini aku berada di atas laut jawa, tampak hijau
kebiru-biruan. Tuhanku maha kaya, ada trilyunan ikan di bawah sana. Semua tersebar
luas di laut jawa. Semua bebas mengambilnya kapan saja asal raganya masih kuat mencari
dan menemukannya. Tugas kita menjaga dan merawat agar kelak anak-anak cucu kita
juga dapat menikmati berkah alam ini.
Satu jam sudah perjalananku mengangkasa di dalam
kabin GA 311. Kini tampak pemandangan gedung-gedung menjulang tinggi seperti
tengah menyambut kedatanganku. Suara merdu dari awak pesawat menyampaikan
kepada penumpang bahwa beberapa menit lagi pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hata.
Aku cepat-cepat mengabadikan pemandangan indah ini dengan kamera gawaiku.
“Jakarta…Jakarta…Jakarta…aku telah datang,” pekikku
dalam hati. Tuhanlah yang melangkahkan kaki hingga tiba di kota ini. Aku
hanyalah pelaku dari cerita yang digariskan-Nya. “Ayo Pak Parman kita duduk
dulu di loby sebentar!” ajakku dengan pelan. Pak Parman menyambut dengan
senyuman sembari bergegas menuju tempat duduk di loby Bandara Soekarno-Hata.
0 Comments