Ramadan Terakhir

Rabu, 11 Maret 1994
Siang itu kulihat senyum ceria teman-temanku. Betapa senangnya mereka begitu pula denganku. Wajah kusut dan kelelahan beberapa hari mengikuti seabrek kegiatan di madrasah terasa hilang bergantikan keceriaan.  Lega rasanya kegiatan Pondok Ramadan di madrasah telah berakhir.
Kini mataku tertuju pada sepeda tua yang aku parkir di samping sekolahku. Tak peduli terik matahari membakar kulit, ku kayuh sepeda menuju rumahku. Aku mulai menyusuri jalanan makadam yang banyak debunya dan lubangnya tak terhitung banyaknya. Sesekali aku berhenti di bawah pohon asem londo. Pohon ini batangnya cukup besar dan kokoh, daunnya rimbun dan buahnya kecil-kecil. Sudah kesekian kali  aku harus berteduh di bawah pohon ini untuk menurunkan dehidrasi tubuhku. Bagiku ini cara mudah agar ludahku tak cepat kering. Meski begitu mulut ini tetap terasa pahit dan tetap saja kering seperti tidak ada ludah lagi yang tersisa di mulutku.
Perjalananku belum ada setengahnya sambil mengayuh sepeda di bawah terik matahari aku menerjang fatamorgana, bayangan ibu hadir di depanku.  “Ibu tunggu aku, aku akan segera tiba menemanimu di rumah. Aku akan memijit-mijit tubuhmu yang lelah berbaring”, gumamku dalam hati. Rindu memang telah memengaruhi pikiranku, bayangan demi bayangan seakan hadir di mataku.
Entah sudah berapa puluh ribu kali aku mengayuh dengan sisa-sisa tenaga. Dua puluh lima kilometer tak terasa. Kini aku berdiri di depan rumah kayu, segara ku ketok pintu. Ibu, ayah dan saudaraku telah menungguku.
“Ibumu dari tadi menanyakanmu terus” ujar ayahku. Kucium tangan ayah dan ku peluk erat ibuku. Senyum lebar, wajahnya bersih. “Ibu, baik-baik saja?” tanyaku singkat. “Ibu baik-baik saja.”Syukur Alhamdulillah” timpaku. “Ibu sudah makan. Aku suapi ya?” Baru beberapa sendok saja, ibu sudah minta aku mengakhiri suapanku. “Bagaimana kegiatan pondok ramadan di sekolah?” tanya ibu. “Banyak kegiatan bu, ngaji dan belajar pidato, aku selalu ingat ibu.”
Ibuku akhir-akhir ini ingin selalu dekat denganku. Empat bulan yang lalu ia bahkan tinggal bersamaku di rumah bibiku selama berbulan-bulan. Entah apa yang dirasakan aku juga tak tahu. Dua tahun sudah ibuku menderita penyakit kanker hati stadium tiga. Tidak bekerja dan hanya berjalan-jalan di dalam rumah, mungkin yang membuat ibuku merasakan bosan. Ibuku memang pekerja keras. Harus bangun malam, memasak lontong dan menyiapkan tempe goreng untuk dijajakan di pasar desaku. Membuatnya lupa makan dan istirahat.
Abangku Imam dan Dawam mereka berdua gigih sekali mencarikan obat kesana kemari. Pernah suatu ketika mereka mencari obat ke Tulungagung. Karena pulangnya larut malam dan tidak ada kendaraan umum kedua abangku akhirnya tidur di hutan. Kakak perempuanku satu-satunya Emi yang berperan menggantikan ibu untuk memasak. Tentu ayahku tak kalah dengan anak-anaknya juga. Ayah telah menjual sebagian sawahnya untuk biaya berobat ibuku. Dua tahun sudah ibuku bolak balik ke dokter. Kami sekeluarga memang kompak untuk kesembuhan ibu. Tugasku kini hanya menjaga ibuku agar tetap tersenyum gembira. Kini aku sudah di hadapan ibu menemani selalu di musim liburan menjelang hari raya Idul Fitri.
Waktu menunjukkan pukul 16.30, saatnya aku bergegas ke Masjid di belakang rumahku ikut mengaji kitab kuning dari Kyai Asrory. Tiap kali puasa memang selalu ada kegiatan mengaji di masjid dan musala-musala desaku. Aku dan teman-temanku sudah berkumpul di serambi masjid, sebentar lagi kegiatan mengaji akan dimulai. Satu persatu ibu-ibu menjinjing kolak pisang dan makanan untuk berbuka. Tiap kali menengok ke belakang melihat kolak pisang yang berjajar-jajar dahagaku naik turun, ingin segara memutar waktu lebih cepat dan cepat agar cepat berbuka puasa.
Belum lagi bedug magrib ditabuh, aku diminta untuk segera pulang. Aku bergegas pulang meninggalkan pengajian. Ketika aku masuk rumah ayah dan saudara-saudara berkerumun di kamar ibuku membimbing mengucapkan kalimat tauhid berulang-ulang, makin lama kalimat yang terucap Allah… Allah… Allah…. Kupandangi ibuku, badannya terasa dingin tanggannya pucat. Air mataku mengucur deras. Tak sanggup aku membendungnya. Ibu benar-benar meninggalkan diriku. Ibu baru saja kita bertemu mengapa kita harus berpisah untuk selamanya. Tubuh kakak perempuanku terhunyung limbung.
Sore itu benar-benar pertemuan akhirku dan ibu. Ingatanku kembali pada masa kecilku. Aku, kakak-kakakku dan ibuku yang setiap sore berkejaran memutari rumah dan kebun samping rumahku hanya untuk menyuruhku mandi. Aku memang bandel kalau tidak berkelahi sama kakak-kakakku ya malas mandi. Sambil mengacung-acungkan pelepah pisang ibu mengejarku.
Masih teringat tiap pagi-pagi aku harus membawa seember tempe goreng ke pasar. Sepanjang jalan ibu-ibu menungguku. Mereka gemar sekali makan tempe buatan ibu yang gurih dan renyah. Aku senang sekali membantu ibu menjinjing dan memanggul tempe goreng. Biarpun kadang muncul juga rasa sedikit malu kalau bertemu teman sekolahku. Paling menyenangkan tiap kali tugasku selesai ibu memberiku lima puluh rupiah untuk uang saku sekolah.  
Sepulang sekolah Ibu mengajariku membaca dan berhitung di sela-sela membungkus lontong. Ibu memangku kepalaku sambil ku baca buku. Sesekali beras lontong jatuh di mataku dan tertawa kecil pun mengiringinya. Ibuku benar-benar guru yang hebat. Ibu pernah bercerita padaku, saat mudanya pernah jadi guru di Madiun. Saat itu Ibu memang ikut Pamanku yang saat itu menjadi CPM. Karena pindah tugas ibuku pulang ke Bojonegoro dan menikah dengan ayahku.
Tiap malam ibu pun tak lelah menyanyikan lagu dolanan dan mendongeng untukku. Sambil menunggu merebus lontong bibirnya tak berhenti bercerita. Mataku sudah terpejam terkadang ibu masih bercerita. Ibuku hafal sekali cerita-cerita di dalamnya selalu diselipi pesan agar aku jadi anak yang baik.
Kini tubuh ibu terbujur dingin nadinya tak berdenyut wajahnya pucat. Satu persatu teman-teman mengajiku berdatangan, mereka memandangku yang tak berdaya. Sambil melantunkan ayat-ayat suci berderai air matanya. Tetanggaku pun mulai memenuhi rumahku, ikut berduka. Teriring doa untukmu ibu yang selalu ada waktu untukku. Aku anakmu selalu mencintaimu. Semoga Allah mengapuni segala dosamu dan memberimu kasih sayang sebagaimana kasih tulusmu terhadap anak-anakmu.
Reaksi:

Post a Comment

0 Comments