Mudik Cinta Lahir Batin

Sebelum memutuskan pulang ke kampung halaman, Kang Samin bermalam-malam merenung di sudut masjid. Kang Samin memang sedikit berbeda pada umumnya. Jika orang-orang pergi ke masjid beramai-ramai untuk beriktikaf, Kang Samin memilih masjid yang sepi dan nyaris tidak ada suara keras orang-orang alim bertadarus. 

Pada malam itu, malam terakhir puasa Ramadan, Kang Samin harus mengambil keputusan. "Kapan ia mulai mudik dan dengan kendaraan apa? Pertanyaan itu berulangkali menadas pikiran Kang Samin. Belum lagi menemukan jawaban, ada pertanyaan yang membuatnya mengerutkan dahi hingga alisnya menarik ke atas, "Pakaian seperti apa yang pantas aku pakai saat tiba di kampung halaman nanti?"

Malam pun makin mengkerut, udara dingin mulai menebas sendi-sendi Kang Samin. Namun tidak juga ada sepi dalam pikiran Kang Samin. Pertanyaan-pertanyaan makin bertumbuk. Hingga akhirnya Kang Samin nadir tak berdaya. 

"Siapa yang harus memutuskan semuanya? Aku atau ..." Kang Samin beradu jawab dalam hati. Kedua ujung bibirnya membuka sedikit, giginya yang kecoklatan remang-remang nampak menyebut nama agung, "Ya Rabb."

Beberapa detakan jarum jam di dinding masjid mengantarkan mata Kang Samin mengatup pelan-pelan, namun kedua bibirnya mengulang-ulang kata, "Ya Rabb." 

Malam itu, Kang Samin seperti bertemu dengan guru ngajinya saat masih di kampung halaman puluhan tahun lalu. Sang Guru duduk bersila di hadapannya lalu menyampaikan sebuah hadis qudsi.

"Dari Allah azza wa jalla bahwasannya Aku mendapati diriku malu kepada hamba-Ku mengangkat kedua tangannya sambil berkata, "Ya Rabb, Ya Rabb", maka Aku menjawab seruan hamba-Ku. Lalu malaikat berkata, "Bahwasannya dia bukan hamba yang harus Kau ampuni." Maka Aku berkata, "Akan tetapi Aku adalah sumber ketakwaan dan sumber pengampunan. Aku bersaksi atas kalian (malaikat) bahwasannya aku telah mengampuni hamba-Ku. 

Tiba-tiba air mata Kang Samin meleleh dari katupannya, perlahan jatuh menelusuri sudut matanya yang masih terpejam.

Sang Guru dengan mata sembab menerawang ke atas lalu menatap Kang Samin. Kemudian melanjutkan lagi, "terdapat juga dalam sebuah hadis berikut ini: 

"Bahwasannya jika seorang hamba mengangkat kedua tangannya ke langit sementara dia adalah seorang yang bermaksiat, lalu dia memanggil Tuhannya, "Ya Rabb." Kemudian malaikat menghalangi suaranya. Lalu seorang hamba memanggil Tuhannya, "Ya Rabb." Kemudian malaikat menghalangi lagi suaranya. Lalu dia mengulangi lagi untuk yang keempat kalinya. Maka Allah azza wa jalla berkata," Sampai kapan kalian (malaikat) menghalangi suara hamba-Ku dari-Ku.

Sang Guruku pun sambil berlinangan air mata melanjutkan hadis yang ia bacakan.

Labaika abdi...
Aku menyambut panggilanmu wahai hamba-Ku. Wahai anak-anak Adam, Aku menciptakanmu dengan kedua tangan-Ku dan Aku membimbingmu dengan nikmat-Ku.

Belum lagi dilanjutkan air mata Kang Samin mengucur menetas menyusuri lekuk hidung. Lalu sang Guru melanjutkan bacaannya hadisnya.

Sementara engkau menyimpang dari-Ku dan bermaksiat pada-Ku. Apabila engkau kembali pada-Ku maka Aku memberimu taubat. Maka, di mana lagi engkau temukan Tuhan seperti-Ku? 

Dada Kang Samin terasa sesak...tangisnya pecahkan sepinya malam. Sang Guru yang jua berderai air mata melanjutkan menyampaikan hadis.

Aku adalah maha pengampun, Aku adalah pengampun dan penyanyang. Hamba-Ku, Aku mengeluarkanmu dari ketiadaan menjadi ada. Dan Aku menciptakan untuk kalian pendengaran, penglihatan, dan akal. Hamba-Ku, Aku menyembunyikan aibmu sementara engkau tidak takut pada-Ku. Aku mengingatmu sementara engkau lupa terhadap-Ku. Aku malu terhadapmu wahai hamba-Ku sementara engkau tidak malu terhadap-Ku. Siapa lagi yang lebih dermawan dari-Ku? Adakah hamba yang mengetuk pintu-Ku lantas tidak aku buka? Adakah hamba yang meminta kepada-Ku lantas Aku tidak memberinya? Apakah Aku ini pelit sehingga hamba-Ku pelit kepada-Ku?

"Ya Rabb, Ya Rabb," bibir Kang Samin hanya mampu mengulang kata yang sama. Lalu sang Guru pun melanjutkan hadisnya. 

Wahai yang keutamaannya selalu tercurah atas hamba-hambanya. Wahai Dzat yang membentangkan kedua tangan-Nya dengan pemberian. Wahai Dzat yang memiliki pemberian-pemberian yang luhur. Limpahkanlah rahmat dan salam kepada Muhammad SAW dan keluarganya sebaik-baik manusia di dalam budi pekerti. Dan ampunilah aku wahai dzat yang mempunyai keluhuran di malam ini dan di setiap malam. Dan rizkikanlah pada kami kehidupan yang ridha dan diridhai.

Angin dingin seperti berbisik di telinga Kang Samin. Matanya mulai tebuka sedikit. Tak ada guru ngaji yang bersila di hadapannya. Namun, air mata yang membasahi pipi Kang Samin masih tersisa. Butiran bening menyadarkan diri Kang Samin, bahwa selama ini ia terlalu jauh meninggalkan Tuhannya. Meski malam itu Kang Samin belum mudik, hatinya telah mudik, hatinya penuh cinta lahir dan batin pada Tuhannya.

Syawal hari kelima
Tabik
Akang Azam
Reaksi: