Jacinda, Audrey, dan Pesan Toleransi

Siapa yang tak kenal Jacinda Ardern? Ia adalah sosok perempuan keibuan yang tegas, cerdas, dan welas asih. Seorang Perdana Menteri Selandia Baru yang namanya meroket ke berbagai penjuru dunia melalui pesan-pesan yang mencengangkan.  

Tahun lalu, ketika menghadiri Sidang Umum PBB ke-73 tahun 2018 di New York, Jacinda Ardern tengah menjadi sorotan kamera karena sedang mencium bayinya bernama Neve di ruang sidang (Reuters, 24/9).

Dalam foto itu, ia seakan-akan ingin menyampaikan kepada dunia bahwa perempuan tetaplah perempuan yang mempunyai kodrat mengasuh bayi dan menyusui. Meskipun ia sebagai seorang tokoh publik tetap dapat melaksanakan perannya sebagai seorang ibu.

Baru-baru ini, ketika dunia disontakkan dengan peristiwa berdarah. Peristiwa yang mengoyak nilai-nilai kemanusiaan. Peristiwa teror terhadap kaum muslim di Christchurch. Jacinda Ardern hadir sebagai Perdana Menteri menunjukkan sosok yang tegas dan cerdas. Dalam waktu singkat, ia mengumumkan bahwa peristiwa yang terjadi adalah teror dan segera menghukum pelaku teror tersebut. Tidak hanya itu, ia segera menemui para korban dengan mengenakan kerudung dan diikuti oleh berbagai elemen masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ia menjadi bagian dari korban.  

Setelah itu, Jacinda Ardern berbicara kepada warga Selandia Baru. Ia mengajak warga menolak kebencian dan kekerasan. Ia memastikan bahwa tragedi Christchurch tidak dilestarikan menjadi curiga dan dendam berkepanjangan. Karena hal itu, hanya akan mengoyak-koyak persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat.

Ketika ia diwawancarai oleh media, ia tak pernah sekali pun menyebutkan nama pelaku teror tersebut. Karena menurutnya ketenaranlah yang ingin diraih pelaku teror. Ia pun mengajak warga: peristiwa nahas itu sebagai titik balik untuk memahami dan menerima antar kelompok masyarakat yang berbeda.

Lain halnya dengan Jacinda Ardern, di negeri kita sendiri, baru-baru ini dikagetkan dengan peristiwa pilu. Audrey seorang remaja perempuan SMP di salah satu sekolah di Pontianak tengah mengalami perundungan yang luar biasa. Pelakunya juga sama-sama perempuan yang masih sekolah di tingkat SMA.

Berita tentang Audrey langsung gempar ke pelosok negeri. Warganet memberi perhatian khusus terhadap kasus Audrey. Mulai dari petisi untuk memberikan keadilan bagi pelaku perundungan. Tanpa terkecuali tokoh-tokoh terkemuka juga memberi perhatikan yang serius terhadap kasus Audrey.

Bahkan Presiden Jokowi juga memberikan pernyataan bahwa beliau merasa sedih dan marah atas kejadian yang menimpa Audrey. Beliau meminta kepada pihak kepolisian untuk bertindak tegas menangani kasus tersebut sesuai dengan koridor perudang-undangan yang berlaku.  

Berbagai peraturan perundangan telah mengatur sanksi tegas terhadap perilaku perundungan. Dalam permendikbud nomor 82 tahun 2015 pelaku perundungan dapat diberikan sanksi berupa teguran lisan, tertulis, atau sanksi lain yang bersifat edukatif bagi peserta didik dan teguran lisan, tertulis, pengurangan hak, pemberhentian dari jabatan sebagai guru dan tenaga kependidikan.

Sedangkan undang-undang nomor 35 tahun 2014 perilaku perundungan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3  tahun 6  bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta. Kemudian dalam undang-undang nomor 11 tahun 2008, perilaku perundangan secara siber dapat dipenjara paling lama 6 tahun atau denda maksimal 6 milyar.

Perundungan bagi korban dapat menimbulkan berbagai dampak akademis, sosial, fisik, dan emosi. Dampak akademisnya dapat menurunkan prestasi belajar, penuruan tingkat kehadiran siswa, kurangnya minat belajar, sulit konsentrasi, sampai putus sekolah.

Sementara dampak sosialnya tidak percaya diri, pemalu, tidak dapat menyampaikan pendapatnya, dan sedikit teman. Dampak fisiknya sakit berkelanjutan, pusing, sakit perut, gagap, sulit tidur, luka-luka pada tubuh, dan lemah tak berdaya. Kemudian dampak emosinya suasana hati berubah-ubah, was-was, murung, sedih, dan mudah menangis.

Terlepas dari banyaknya berita yang beredar tentang Audrey, perundungan tetap tidak dapat ditoleransi. Kasus Audrey memberi pesan kepada semuanya bahwa perundungan harus di akhiri. Tidak boleh ada Audrey Audrey yang lain lagi. Tidak ada alasan untuk membiarkan perundungan masih terjadi.  

Meski berbeda posisi, Jacinda dan Audrey. Keduanya memberi pesan betapa pentingnya toleransi bagi kemanusiaan. Mandela mengatakan, “No one is born hating another person because of the color of his skin, or his background, or his religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite.” Yuk, kita mulai dari diri kita dan lingkungan terkecil. Bisa!

*Pemerhati Pendidikan dan
Aktivis di KKG 1 Bojonegoro


(Telah diterbitkan oleh Radar Bojonegoro, 14/4/19)
Reaksi: