Songkok Hitam Kyai

Suara ayam jantan berkokok berulang-ulang seperti membangunkan orang-orang yang terlelap tidurnya. Kang Mamang pun tak mau kalah  dengan mikrofonnya yang nyaring membangunkan orang-orang untuk sahur.

"Sahuuur! Sahuuur! Sahuuur!"

"Bapak-bapak, ibu-ibu, adik-adik sahurrrrr!"

Disusul dentuman bedug Lek Mul. Meskipun jarang-jarang suaranya mengengang telinga seluruh isi kampung. Mataku masih enggan terbuka. Kedua tanganku kompak menutup kedua telinga. Aku menarik selimut tebalku untuk tidur lagi. 

Mulutku meracau sebal. Aku jengkel sekali tapi apalah daya aku gagal tidur lagi. Akhirnya aku  terbangun juga.

Aku terbangun dari tidur dengan muka lusuh dan menjerit seperti ketakutan. Lalu aku bengong memandangi sekelilingku.

"Ais, kenapa, Nak?" Ayah mendatangi kamarku yang tak terkunci.

"Ais kaget, Yah. Ais pikir suara sahur itu. Ais lupa mau ngomong apa he he."

"Ya, sudah cuci wajahmu dan segera ke meja makan. Bunda sudah menunggumu dari tadi."

Aku pun menuruti perintah ayah.

"Bun"

"Ais, kamu mau sayur apa?"

"Sayur kangkung sama brokoli saja, Bun."

"Ini makan yang banyak supaya kuat puasanya. Jangan lupa baca doa!"

"Iya, Bun."

Beberapa menit kemudian sepiring nasi beserta sayur kangkung dan brokoli habis tak bersisa.

"Alhamdulillah kenyang."

"Susunya belum diminum?" Tanya bunda.

"Siap! Ais habiskan, Bun."

Setelah makan sahur aku, bunda, dan ayah membaca niat puasa bersama-sama.

"Kamu sudah gosok gigi?" Tanya ayah.

"Sudah."

Kemudian aku siap-siap salat subuh ke musala.

"Ais berangkat ke mushola dulu ya Bun, Yah."

"Ya, hati-hati!"

Aku menuju musala bersama Yunita tetanggaku. Hanya sebentar  kami berdua telah sampai di musala. Meskipun musala Al Amin itu kecil tapi suasananya menenangkan hati.

"Ayo buruan wudu, Yun, keburu salat!"

"Iya, iya."

Sesudah salat aku dan Yuni ikut berzikir. Mulutku komat-kamit membaca lafaz zikir. Aku memandangi songkok-songkok yang dipakai para jamaah laki-laki. Tiba-tiba pandanganku berhenti di sebelah tempat imam. Aku melihat ada songkok berwarna hitam di etalase kecil. Songkok itu tampaknya sudah bertahun-tahun di etalase tetapi tampak lebih bersih daripada songkok bapak-bapak lainya.

"Eh, Yun!"

"Ada apa?"

"Ada yang mau aku bicarakan."

"Nanti saja."

"Oke, baiklah."

Usai  berdoa, aku dan Yuni pulang dulu.

"Memangnya apa yang mau kamu bicarakan, Ais?"

"Eh tidak jadi." Aku tak jadi membicarakan hal itu pada temanku.

"O, ya sudah."

Tak lama kemudian sampailah aku di rumah dan segera memanggil bunda, "Bun."

"Iya, Ais."

"Ayah mana?"

"Ayah sudah berangkat kerja. Ayah kan sekarang piket."

"Oh, begitu ya, Bun."

Aku sebelum masuk kamar menarik tangan bunda.

"Bun, Ais pinjam laptop, boleh?"

"Iya, ambil di kamar Bunda, ya!"

"Terima kasih, Bun."

Sebenarnya aku pinjam laptop bunda bukan untuk mengerjakan tugas tapi untuk mencari tahu tentang songkok di musala Al Amin.

Saat ini, aku masih ragu dan takut untuk menanyakan soal songkok tersebut pada ayah.
Aku memutuskan untuk mencari tahu di internet. 

Aku mengetik nama Musala Al Amin di mesin pencari dan berulang-ulang mencari tahu tentang songkok di kotak kaca itu. Tiba-tiba, bunda mengetok dan membuka pintu kamarku. Aku pun buru-buru menarik selimut agar bunda mengira aku telah tidur. Setelah bunda keluar dari kamarku aku melanjutkan pencarianku.

Sudah dua jam kuhabiskan untuk menyelidiki tetapi hasilnya nol besar. Rasa penasaran masih memenuhi tanyaku. Aku ingin tahu. Aku merasa ada yang aneh dengan songkok itu. Songkok itu pasti bertuah.

Suara air berkecipak terdengar di telingaku. Angin dingin mendesis membuat bulu kuduk di punggung leherku berdiri.  Kuberanikan membuka sedikit gorden jendela kamar. Aku tak melihat apa-apa.

Hari sudah menjelang siang dengan hiruk pikuknya. Siang pun berjalan gontai dengan segala lelahnya. Senja akhirnya datang menawarkan warna indahan. Burung-burung bul-bul telah kembali ke sarangnya. Sampailah giliran ayah yang pulang dari tempatnya bekerja.

Setelah bedug magrib, ayah mengajakku untuk berbuka bersama di teras belakang rumah. Aku menyantap penganan bersama ayah dengan lahap.

Kini telunjuk ayah mulai mengarahkan mataku ke bintang gemintang. Aku memandanginya tampak seperti lentera dari kejauhan. Ayah memapahku di pangkuannya.  Aku bermanja meletakan kepalaku dan segala rasa lelahku di pangkuan ayah.

"Yah, Ais mau tanya." Bola mata Ais tampak beradu pandang dengan ayah.

"Tanya apa?" Ayah memandangi Ais dengan penuh tanya.

"Yah, kenapa songkok berwarana hitam itu selalu diletakan di dalam kotak kaca musala?" Bola mataku yang hitam berhenti beradu pandang dengan mata ayah.

"Memangnya milik siapa?" Aku tak sabar ingin segera mendengar ayahnya cerita panjang.

"Sepertinya ada yang aneh, Yah." Mulutku memberondong rasa penasaran kepada ayah.

Kemudian ayah mulai bercerita. Aku mendengarkan   sambil menatap bibir ayah yang mulai terbuka. Tatapan ayah tiba-tiba menjauh ke atas langit. 

"Dulu di musala itu didatangi seorang kyai. Kyai itu sangat alim dan sangat sabar. Kemudian beliau menjadi imam di musala itu, mengajari anak-anak mengaji, berceramah, dan membantu orang-orang bekerja. Orang-orang yang semula banyak yang meninggalkan salat sedikit demi sedikit ikut salat jamaah di musala. Orang-orang sangat menyegani kyai tersebut. Sampai suatu hari kyai ini tengah salat malam lama sekali. Namun anehnya keesokan harinya kyai tersebut menghilang. Kabar tersebut menggemparkan warga. Mereka mencari keberadaan kyai namun hasilnya mengecewakan. Mereka tidak menemukan kyai. Saat kembali ke musala ditemukanlah songkok yang selalu kyai pakai dan secarik kertas bertuliskan, "Aqimis sholah."

Cerita ayah membuatku tak sabaran. Ayah membuatku spontan bertanya.

"Terusss, Yah?"

Dalam kondisi bingung dan panik, orang-orang akhirnya memusyawarahkan pesan tersebut. Salah seorang tetua masyarakat mengusulkan untuk mengabadikan songkok kyai tersebut. Semuanya mengiyakan tanda setuju.

Sejak saat itu, untuk mengobati rasa kehilangan masyarakat menyimpan songkok kyai dan meletakkan di samping imam. Masyarakat pun semakin senang ke musala untuk salat jamaah.

"Jadi begitu ya, Yah?" Tanyaku dengan perasan lega.

"Sekarang ayah mau tanya sama kamu, hal baik apa yang bisa kamu petik dari cerita songkok kyai tersebut?"

"Ehmmm, kita harus senantiasa mendirikan salat, Yah."

"Ayah, Ais, yuk masuk! Bunda sudah buatkan teh dengan roti kelapa yang nikmat" ucap bunda.

Malam harinya aku bermimpi. Aku berada di tempat yang penuh dengan cahaya. Semua laki-laki memakai songkok hitam sedangkan yang perempuan berkerudung. Semuanya tampak wajahnya tersenyum dan bersinar. 

Kemudian seorang kakek tua mendatangiku. Kakek itu berjenggot putih, membawa tasbih di tangan kanannya dan memakai jubah putih.  Kakek tua itu mendekapku dan berkata, "Jadikan salat dan sabar sebagai penolongmu!"

Aku terbangun dan terdiam sejenak. Aku bersyukur menemukan pesan yang baik dari rasa penasaran pada songkok hitam di Musala Al Amin itu.

Karya : Jacinda Nala Lexandra
Editor : Azam

Reaksi:

Post a Comment

0 Comments