Terik mentari siang hari ini terasa menembus ubun-ubun bocah kecil itu. Bocah berusia delapan tahun itu jalannya terseok-seok. Kakinya lemah seperti tak kuasa menopang tubuhnya. Namun, Ia tampak mencoba mengumpulkan segala daya kekuatannya. Ia tampak merasakan perih di perutnya. Rasa lapar itu mulai menggerogoti mentalnya.
Desa Kedungsumber, yang terletak di lereng Gunung Piling, memiliki suasana Ramadan yang khas. Pegunungan yang kini penuh dengan tanaman holtikultura itu mengirimkan aroma bunga jagung yang khas saat di sapu angin.
Ramadan tahun ini adalah kali pertama bagi Kenzi untuk
berpuasa penuh. Ia sangat bersemangat, ingin merasakan bagaimana rasanya
menjadi muslim sejati yang berjuang menahan lapar dan dahaga. Namun, siang ini,
semangatnya mulai luntur.
"Ibu, Kenzi haus sekali," rengeknya, menghampiri
sang ibu yang sedang sibuk menyiapkan hidangan berbuka di dapur berdinding kayu
itu.
Ibunya tersenyum lembut, mengusap kepala Kenzi. "Sabar
ya, Nak. Sebentar lagi waktunya berbuka. Ingat, Allah menyayangi orang-orang
yang sabar."
Kenzi mengerutkan kening. Sabar. Kata itu terdengar mudah
diucapkan, tetapi sulit sekali dilakukan. Apalagi ketika perutnya bergemuruh
dan tenggorokannya terasa kering. Ia membayangkan es dawet ayu yang segar,
kolak pisang yang manis, dan berbagai hidangan lezat lainnya yang biasa dijual
di jalan-jalan Desa Kedungsumber.
Waktu seolah berjalan sangat lambat. Setiap menit terasa
seperti satu jam. Kenzi bolak-balik melihat jam dinding, berharap jarumnya
segera bergerak ke arah waktu berbuka. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan
membaca buku pondok Ramadan di teras rumah, bermain congklak dengan adiknya,
bahkan membantu ibunya di dapur. Namun, bayangan makanan dan minuman tetap saja
menghantuinya.
Siang hari tadi di sekolah, teman-teman Kenzi juga
merasakan hal yang sama. Mereka saling menyemangati dan berbagi cerita tentang
pengalaman puasa mereka. Bu Guru Nuryanti, guru kelas Kenzi, bercerita tentang
keutamaan bulan Ramadan dan pahala bagi orang-orang yang sabar.
"Anak-anak, Rasulullah SAW pernah bersabda, 'Seseorang
yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan, kesenangan, dan kebahagiaan
pada dua waktu, yaitu waktu berbuka puasa, dan waktu dia akan bertemu dengan
Allah di akhirat kelak. Sungguh bau mulut seorang yang berpuasa lebih harum di
sisi Allah daripada harumnya minyak kesturi.' (HR. Bukhari)," jelas Bu
Guru Nuryanti dengan lembut.
Saat azan magrib berkumandang, Kenzi merasa lega
luar biasa. Ia segera menyantap kolak pisang dan meneguk segelas es dawet ayu,
merasakan kesegaran yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Setelah itu, ia makan
dengan lahap, menikmati setiap suapan hidangan berbuka yang telah disiapkan
ibunya.
Malam itu, sebelum tidur, Kenzi merenungkan pengalamannya
seharian. Ia menyadari bahwa sabar itu memang sulit, tetapi hadiahnya sungguh
luar biasa selangit. Bukan hanya rasa nikmat saat berbuka, tetapi juga perasaan lega dan
bangga karena berhasil menahan diri.
Ia teringat perkataan ibunya dan Bu Guru Nuryanti, serta
hadis yang disampaikan di sekolahnya. "Allah menyayangi orang-orang yang
sabar." Kenzi tersenyum. Ia tahu, Ramadan ini telah memberinya pelajaran
berharga tentang arti kesabaran. Pelajaran yang akan ia bawa sepanjang
hidupnya. Ia pun kembali membuka kedua bibirnya sehingga tampak giginya yang
rapi. Senyumnya itu membuat penasaran ibunya yang dari tadi lewat di depannya.
“Ada apa, Nak?” Tanya ibunya. “Buu bu, tadi di sekolah bu guru mengatakan bahwa
pahalanya orang yang puasa itu akan bertemu Allah di akhirat kelak.” Ia balik
bertanya pada ibunya. “Ibu guru benar, Nak. Pahala orang-orang yang berpuasa
itu kelak akan bertemu Allah di akhirat.”
0 Comments