Einstens Kecil

Ilustrasi Foto Akma Afkar Alqila
Einsten lahir di Ulm, Jerman, pada tanggal 14 Maret 1879, tergolong anak yang pendiam, tidak pernah senyum, dan lamban. Dia jarang berbicara dengan orang lain. Namun, kalau sudah bertanya sesuatu yang menarik perhatiannya, dia berubah menjadi orang yang cerewet. (Republika, 23 Januari 2003).
Bayangan itu tertuju pada  Ai, lelaki bertubuh mungil dengan rambut hitam menutupi kedua telinganya. Bulatan matanya yang lebih banyak hitamnya dibandingkan dengan anak-anak lainnya membuatnya berbeda. Lebih dari semua itu yang membuatku beberapa kali tercenung. Ai memang kesehariannya pendiam, jarang tersenyum, bicara dengan teman-teman pun jarang-jarang. Namun, setelah bertanya pada sesuatu yang menarik perhatinnya, Ai langsung seperti berubah dari aslinya menjadi sangat cerewet.

Usianya masih anak-anak baru menginjak kelas dua sekolah dasar. Tetapi cara berhitung matematika penalaran sudah lebih cepat daripada anak-anak kelas dua. Ai sudah memiliki konsep matematika sendiri yang lebih cepat dari pada kebiasaan berhitung anak-anak. Misalnya menghitung perkalian 250 x 8. Ai cukup mengalikan 250 dikali 2 sama dengan 500. 500 dikali 2 sama dengan 1000. 1000 dikali 2 sama dengan 2000.

Ai juga pernah aku tanya saat beli martabak.
"Ai harga martabak ini Rp20.000,00. Jika penjual ini memotong menjadi 8 bagian. Harga tiap potongnya berapa?"
Ai pun menjawab dengan cekatan, "Dua ribu lima ratus."
"Jika 2 potong berapa?" tanyaku. "Lima ribu"
"Jika ingin mendapatkan untung Rp8.000,00, tiap potong dijual berapa?"
"Dijual Tiga ribu lima ratus."

Suatu hari, abahnya bercerita tentang tingkah Ai yang berbeda dengan saudara-saudara lainnya. Saat itu, abah bersama anak-anaknya sedang berjalan-jalan ke balai kota. Saudara-saudaranya berlari-lari ke sana ke mari. Tidak demikian dengan Ai, begitu matanya tertuju pada kolam. Sedari datang memandangi dasar kolam yang tampak jernih dengan ikan-ikan yang berkecipak timbul tenggelam. Pertanyaan demi pertanyaan tak henti-hentinya Ai tumpahkan pada abahnya. 

"Abah, kedalamannya kolam ini berapa meter, sepertinya dangkal?"
"Kok bisa, cahaya matahari bisa sampai ke dasar kolam?"
"Abah, ikan-ikan itu kok bisa bernapas di air?"
"Apakah ikan-ikan itu tidak capek berenang?"
"Abah, apakah ikan-ikan itu tidak kedinginan di air terus?"
"Abah, Ai lihat ikannya bergelembung di dalam air. Apakah airnya mengandung oksigen?"

Abah Ai yang pernah menjadi guru di pesantren melayani pertanyaan demi pertanyaan dengan pertanyaan yang membuat Ai berpikir lebih dalam. Sambil membelai rambut Ai, abah bertanya, "Kamu ingin jadi apa?" 
"Bah, boleh pertanyaan diubah?" Permintaan Ai pada abahnya.
"Boleh. Kamu ingin jadi seperti siapa?"
"Nah, begitu, bah."
"Ai, ingin seperti sahabat rasulullah yang pandai itu."
"Siapa?" Tanya abah.
"Abu Bakar Assidiq"
"Umar bin Khatab"
"Utsman bin Affan, atau"
"Ali bin Abi Thalib.

"Menurut abah, siapa sahabat rasulullah yang cerdas dan pandai?" Tanya Ai pada abahnya.
"Kalau menurut abah Abu Bakar Asshidiq." Pancing abah.
"Kalau menurut Ai sahabat rasulullah yang paling pandai dan cerdas itu Ali bin Abi Thalib karena beliau adalah kotanya ilmu."

Cerita abah kepadaku tentang Ai beberapa waktu lalu seperti mengingatkan pada cerita Einstens kecil. Ai adalah Einsten dalam bentuk lain. Meski jarang berbicara, tetapi setelah tertarik pada sesuatu ia pasti bertanya lebih dari sekadarnya. 

Cerita tentang sahabat-sahabat rasul telah menginspirasi benaknya yang paling dalam. Cerita yang sering didongengkan ibunya saat Ai beranjak istirahat di tempat tidur, kini berubah jadi kemudi dan cita-cita yang dituju Ai kelak. 

Wallahu a'lam
Alapakguru, 5 November 2019
Reaksi: