Mbah Guru Manggut-Manggut

Foto Ilustrasi Hartono, S.Pd.
Mbah Guru sering mengeluh. Semua yang dirasakan dikeluhkannya. Mulai urusan keuangan yang belum cair-cair hingga urusan pribadi ia sampaikan. Matanya nanar. Wajahnya ditekuk. Sesekali menarik nafas panjang.   

Sebagai sahabat yang baik, aku selalu mendengarkan segala keluh kesahnya. Namun, untuk urusan keuangan dan pribadi aku tak mau ikut campur. Hal itu sudah masuk dapur privat.  Selain takut salah, bisa-bisa menimbulkan kesalahpahaman.  Jadi ributlah. Jadi musuhan seperti yang sudah-sudah. 



Panjang lebar ia ceritakan. Hingga kemudian, ia menyampaikan kepemimpinan di lembaganya. Ia merasa ada masalah. Akan tetapi ia tak tahu masalahnya.

Aku merasa bukan orang yang tepat untuk dikeluhkesahi seperti ini. Selain rumit, jarang sekali orang mau jujur pada diri sendiri. Tetapi mumpung ia ngudarasa, aku berikan gambaran saja untuk mengetahui masalahnya.  Setelah ada gambaran, ia bisa mengetahui dengan sendirinya. 

Kemudian aku melanjutkan dengan menjelaskan, bahwa dalam sebuah organisasi terdapat seorang pemimpin yang bertugas melaksanakan kepemimpinan. Kepemimpinan itu proses memengaruhi orang-orang untuk melakukan sesuatu guna mencapai target tertentu dan dalam situasi tertentu. Sehingga keberhasilan dalam mencapai target bergantung pada gaya kepempimpinan. 

"Jadi gaya kepemimpinan itu sangat berpengaruh, Mbah," aku sengaja mengulangi kalimat tersebut untuk menekankan pada pokok permasalahan kepemimpinan. 

"Baiklah, mbah. Sekarang kita mulai! Kira-kira ada sepuluh pertanyaan penting. Tetapi tak perlu Mbah Guru Jawab. Cukup dijawab dalam hati saja."   

Pertama: Apakah mbah sering menunjukkan sikap kepada pegawai lakukan seperti yang saya katakan, bukan seperti yang saya lakukan? 

Kedua: Apakah mbah masih suka menciptakan rasa takut supaya pegawai melaksanakan tugas-tugasnya?

Ketiga: Apakah selama ini mbah kurang melatih pegawai, karena merasa itu bukan tugas mbah?

Keempat: Apakah mbah merasa lebih tinggi sehingga semua harus hormat. Kadang harus disembah-sembah dan disanjung. Semua pegawai harus membungkuk-bungkuk melayani?

Kelima: Apakah selama ini mbah hanya jadi tukang suruh. Karena pola pikir yang mbah miliki sebagai atasan hanya memberi tugas dan menagih hasilnya?

Keenam: Apakah selama ini mbah hanya menerima masukan yang baik-baik saja dan sulit menerima kritikan?

Ketujuh: Apakah mbah tidak mau dipersalahkan, kalau muncul permasalahan, selalu mencari kambing hitam?

Kedelapan: Apakah mbah memiliki kecenderungan satu arah dalam musyawarah, jarang menghargai pendapat orang lain?

Kesembilan: Apakah mbah membatasi komunikasi dengan pegawai?

Kesepuluh: Apakah mbah tipe terima beres?

"Mbah ...mbah..Mbah Guru kok manggut-manggut saja?" Tanyaku sambil tersenyum. 
"Tadi tidak boleh menjawab," Sahutnya sebagai balasan. 

"Baiklah aku memang masih seperti itu," ia melanjutkan jawabannya. "Lalu, mbah?" Tanyaku singkat.

"Ya semua harus diubah dari sedikit-sedikit," jawabnya.   
Reaksi:

Post a Comment

0 Comments