Bangga Jadi Orang Tua Jaman Now

Libur panjang tinggal beberapa jam dan akan segera berlalu. Para orang tua tentu banyak menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta. Sebagian besar para orang tua pastinya menikmati musim liburan ke tempat-tempat hiburan. Mungkin sebagian lagi lebih menikmati kebersamaan dengan keluarganya di rumah.
“Ok, tidak masalah, yang penting liburannya menyenangkan dan memberikan manfaat untuk semuanya.”
Biasanya setelah masuk sekolah, banyak guru yang memberikan tugas untuk anak didiknya untuk membuat tulisan dalam bentuk cerita. Kegiatan selama liburan menjadi tema yang paling umum digunakan oleh guru-guru. Bukan tanpa alasan jika guru-guru memberikan tugas untuk menulis. Selain untuk mengasah keterampilan menulis anak-anak, tugas menulis juga merupakan bagian dari gerakan literasi sekolah.
Menjadi orang tua sangatlah menyenangkan, terlebih menjadi bagian dari orang tua yang mampu memberikan bimbingan belajar kepada anak-anaknya sendiri. Salah satu cara yang dapat bapak/ibu lakukan adalah mengajaknya menulis yang menyenangkan.
“Bagaimana caranya? Sabar dulu bapak/ibu!”
Banyak orang-orang yang hebat karena karya-karya tulisnya. Sebut saja J.K Rowling penulis Harry Potter yang karya-karya menjadi film dengan pendapatan milyaran dollar. Stephen King  yang telah menghasilkan ratusan judul buku dan menjadi penulis terbaik sepanjang masa. Dari dalam negeri sendiri juga banyak tokoh-tokoh penulis yang terkenal karena karya-karyanya. Misalnya Darwis Tere Liye, Habiburrahman El Shirazy, Andrea Hirata, Hilman Hariwijaya, Asma Nadia.  
 Pendapatan materi dari menulis tentu bukan tujuan akhir segalanya, tapi karya tulis merupakan sumber pengetahuan yang tak pernah ada matinya. Setidaknya dengan menulis akan menjadi investasi kebaikan yang tak pernah ada akhirnya.
“Bagaimana bapak/ibu? Jika tertarik lanjutkan membacanya!”
Kisah ini diangkat oleh Much. Khoiri ketika itu membimbing seorang anak untuk menulis dari nol.
Ia memulai pembicaraan dengan berkenalan.
“Siapa namamu?
“Budi, Bapak, “jawabannya dengan suara agak parau.
“Jawabnya yang lengkap…”
“Suaranya lebih jelas, “Saya Budi.”
“Lebih lengkap lagi, bisa?”
“Nama saya Budi Santosa,”
“Nah, begitu. Sekarang tulis di bukumu…”
‘Dia menulisnya di bukunya yang kusut. Nama saya Budi Santosa.
“Budi, olahraga apa yang kamu suka?”
“Sepakbola. Saya suka sepakbola.”
“Tulis jawabanmu di sebelah jawaban pertama tadi.”
Dia mengangguk, dan menulis jawabannya.
“Kapan kamu latihan, dan di mana?”
“Setiap sore, lapangan. Setiap sore saya main sepakbola di lapangan dekat rumah.”
Dia menulis jawaban-jawabannya. Dia masih belum menyadari bagaimana proses menulisnya. Namun, tampak ia menyukai cara ini.
“Budi kamu pernah dengar Tim Nasional?”
“Pernah, tadi malam saya nonton.”
“Bagus dong. Apa cita-citamu kalau sudah besar, Bud?”
“Pemain Tim Nasional. Besuk-besuk saya ingin menjadi Tim Nasional.”
“Pemain Tim Nasional? Hebat dong. Mengapa begitu?”
“Ya bangga jadi Tim Nasional.”
“Tulis lengkap, sayang.”
“Saya bangga menjadi Tim Nasional.”
“Kalau sudah jadi Tim Nasional, apa keinginanmu?”
“Mengharumkan nama baik. Saya ingin mengharumkan nama baik bangsa Indonesia.”
“Apa maksudmu? Kok ada hubungan Tim Nasional dan nama baik bangsa?”
“Kalau Tim Nasional terkenal, Indonesia juga akan terkenal.”
“Manis sekali, lha kamu bagaimana?”
“Ikut terkenal. Saya juga ikut terkenal.”
“Memangnya mengapa kalau sudah terkenal?”
“Kalau sudah terkenal saya bisa melakukan banyak hal.”
“Banyak hal? Apa contohnya coba?”
“Emm, pokoknya banyak, Pak.”
“Ada yang paling penting? Coba sebutkan satu saja?”
“Ada, Pak. Bapak-Ibu naik haji.”
“Tulis yang lengkap, Budi…”
“Yang paling penting, saya ingin membiayai Bapak dan Ibu naik haji.”
“Ada lagi yang penting?”
“Mendatangi anak yatim.”
“Yang lengkap…”
“Saya mendatangi anak-anak yatim.”
“Untuk apa kok mendatangi anak-anak yatim?”
“Saya akan memberi uang kepada mereka.”
“Mereka siapa?”
 “Anak-anak yatim.”
“Oke, tulislah yang lengkap.”
“Saya akan memberikan uang kepada anak-anak yatim.”
“Bagus. Bapak juga suka begitu. Semoga impianmu terwujud.”
“Amin, semoga impian saya terwujud.”
“Kalau terwujud, bilang apa?”
“Alhamdulillah. Saya syukur Alhamdulillah kalau impian saya terwujud. Amin.

Ternyata tulisan Budi sudah banyak. Barulah dia menyadari telah menjalani sebuah proses menulis. Wajah budi tampak sumringah. Dia hampir meletakkan bolpoinnya ketika saya mengajaknya mengoreksi tulisannya.

“Budi, ayo sekarang Bapak bantu untuk memperbaiki tulisanmu.”
“Bagaimana caranya, Pak?”
“Kita coret saja yang tidak ada subjek-predikatnya.”
“Itu saja?”
“Kata yang belum benar kita benahi. Sisipkan dalam kurung.”
“Siap, Pak. Bantu saya ya.”

Maka, saya menjadi teman belajar Budi untuk memperbaiki tulisannya. Saya harus telaten menemaninya. Dengan pertanyaan dan ungkapan ringan terkait gramatika kalimat, saya membuat Budi merevisi tulisannya.
Nama saya Budi Santosa. Sepakbola. Saya suka sepakbola. Setiap sore, lapangan. Setiap sore saya (ber) main sepakbola di lapangan dekat rumah. Pernah, Pak. Tadi malam saya (me) nonton (Timnas). Pemain tim nasional. Besuk-besuk saya ingin (men) jadi pemain Timnas. Ya bangga jadi Timnas. Saya (akan) bangga menjadi (Timnas). Mengharumkan nama baik. Saya ingin mengharumkan nama baik bangsa Indonesia. Kalau Timnas terkenal, Indonesia juga akan terkenal. Kalau sudah terkenal, saya bisa melakukan banyak hal. Emm, pokoknya banyak, Pak. Ada, Pak. (Misalnya) Bapak-Ibu naik haji. Yang paling penting, saya ingin membiayai Bapak dan Ibu naik haji. Mendatangi anak yatim. (Lalu) saya mendatangi anak-anak yatim. Saya memberikan uang kepada mereka. Anak-anak yatim. (Ya) Saya akan memberika uang kepada anak-anak yatim. Amin, semoga impian saya terwujud. Alhamdulillah. Saya (ber) syukur Alhamdulillah kalau impian saya terwujud.
Setelah ditulis ulang, tulisan Budi akhirnya berbunyi berikut ini:
 Nama saya Budi Santosa. Saya suka sepakbola. Setiap sore saya bermain sepakbola di lapangan dekat rumah. Tadi malam saya menonton Timnas. Besuk-besuk saya ingin menjadi pemain Timnas. Saya akan bangga menjadi Timnas. Saya ingin mengharumkan nama baik bangsa Indonesia. Kalau Timnas terkenal, Indonesia juga akan terkenal. Lalu saya juga akan ikut terkenal. Kalau sudah terkenal, saya bisa melakukan banyak hal. Misalnya Bapak-Ibu naik haji. Yang paling penting, saya ingin membiayai Bapak dan Ibu naik haji. Lalu saya mendatangi anak-anak yatim. Saya memberikan uang kepada mereka. Ya, saya akan memberika uang kepada anak-anak yatim. Semoga impian saya terwujud. Saya bersyukur Alhamdulillah kalau impian saya terwujud.
“Mudah bukan?”
Jika belum paham, Bapak/ibu bisa membacanya sekali lagi. Bisa dipaktikan seperti contoh di atas. Kalau sudah, Bapak/Ibu bisa mengembangkan dengan tema yang lainnya.
Selamat mencoba dan menjadi orang tua yang luar biasa.

Pustaka :
Khori, Much. 2014.Rahasia Top Menulis.Jakarta: PT Elek Media Computindo

0 Comments

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...