Aksi Nyata Diseminasi Budaya Positif di Sekolah


Dalam sebuah aksi nyata saya melaksanakan diseminasi budaya positif di SD Negeri Kedungsumber II. Diseminasi diikuti oleh guru dan kepala sekolah yang berasal dari SD Negeri Kedungsumber II, TK Mutiara Bunda, TK Tunas Bakti, dan TK Islam Saya mengawali dengan memberikan tiga pertanyaan pemantik secara klasikal.

Pertanyaan pertama, “Hukuman dapat mendisiplinkan anak?” Peserta serentak menjawab, “Tidak setuju.”

Saya melanjutkan dengan pertanyaan kedua, “Pemberian hukuman dengan hal positif seperti membaca atau membersihkan halaman sekolah dapat meningkatkan disiplin anak?” Peserta secara serentak menjawab, “Tidak setuju.”

Kemudian saya melanjutkan pertanyaan ketiga, “Memberi penghargaan dapat meningkatkan motivasi belajar anak?” Paserta menjawab, “Setujuuu. Namun ada peserta yang lain menjawab, “Tidak setuju.” Kedua jawaban tersebut kemudian saya gali lagi untuk mengetahui alasannya. Peserta yang tidak setuju mengatakan bahwa ia pernah memiliki pengalaman. Saat itu ia bersama guru lainnya berselisih pendapat terkait pemberian penghargaan kepada murid yang mendapatkan rangking. Ia tidak setuju dengan pemberian rangking yang hanya kepada tiga anak. Sedangkan guru lainnya ingin memberikan rangking kepada juara 1, 2, dan 3. Saat itu, pula ada orang tua murid yang berkeyakinan anaknya mendapatkan rangking. Kenyataannya orang tua tersebut mengetahui anaknya tidak mendapatkan rangking. Orang tua tersebut kecewa dan mengungkapkan kekecewaannya pada anaknya. Sejak saat itu, anaknya murung dan kecewa karena tidak sesuai dengan harapan orang tuanya. Mengetahui hal itu, ia mengatakan kalau pemberian penghargaan tidak dapat memotivasi anak. Bahkan cenderung menyakiti anak.

Saya pun memberikan apresiasai alasan peserta yang mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap pemberian penghargaan. “Ibu luar biasa, perhatian dan berpihak pada anak.”

Kemudian saya beralih kepada peserta yang mengatakan setuju. Ia mengatakan bahwa ia memberikan penghargaan kepada seluruh muridnya. Baik yang mendapatkan prestasi atau pun yang belum. Pemberian penghargaan yang diterima oleh seluruh muridnya tersebut juga memberikan motivasi kepada peserta didik yang belum mencapati prestasi.

Baiklah, ibu bapak guru yang hebat. Hari ini kita akan belajar bersama tentang budaya positif. Untuk itu, topik pembahasan kita antara lain: Disiplin Positif dan Nilai-nilai Kebajikan Universal, Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan, Restitusi, Keyakinan Kelas, Kebutuhan Dasar Manusia dan Dunia Berkualitas,   Restitusi: 5 Posisi Kontrol, Restitusi: Segitiga Restitusi.

Disiplin positif dan nilai-nilai kebajikan universal

Ibu bapak, “Apakah zaman ibu bapak sekolah dulu dengan kondisi sekarang sama?” Termasuk cara mendisiplinkan murid. Peserta serentak menjawab, “Tidak”. Ibu bapak saat ini ada perubahan paradigma dalam belajar.

Sekarang kita akan melakukan percobaan. Masing-masing peserta silakan berpasangan! Kegiatannya dengan menggunakan kepalan tangan

Ada A dan B (Anda dan teman Anda).

Sobeklah secarik kertas kecil. Tuliskan benda atau sesuatu yang sangat berharga untuk Anda. Letakkan di salah satu tangan Anda dan genggam benda/sesuatu tersebut dengan segala daya. Buatlah sebuah kepalan.

Teman Anda (B) akan mencoba dengan sekuat tenaga, dengan berbagai cara untuk meminta Anda memberikan benda tersebut. B bisa membujuk, mengancam, menghardik, merayu, menyuap, apa saja agar dapat membuka kepalan tangan Anda.

Ibu bapak, “Apa yang terjadi?

Sebagian besar peserta tetap mengepalkan tangan. Meskipun pasangannya membujuk, mengancam, menghardik, merayu, menyuap. Namun, ada satu peserta yang membukan kepalan tangan.

Saya pun mendekati dan bertanya, “Apa yang digenggam kok diberikan?” Ia menuliskan sebuah pena. Ia ingin memberikan pena tersebut kepada pasangannya.

Kepada peserta yang tidak membuka kepalan tangan saya juga bertanya, “Mengapa kepalannya tidak dibuka?” Peserta menjawab benda yang digenggam sangat berharga. Kemudian kepada seluruh peserta saya bertanya, “Ibu bapak sebenarnya siapa yang memiliki kontrol untuk membuka dan menutup kepalan tangan?” Seluruh peserta menjawab, “A.” Baiklah ibu bapak. Jadi A lah yang memliki kontrol atas dirinya sendiri. Apakah ia mau membuka maupun menutup kepalan tangan.

Ibu bapak dalam sebuah paradigma baru. Ada sebuah teori kontrol atau teori pilihan. Teori tersebut menyatakan, bahwa Ilusi, guru mengontrol murid. Ilusi, bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter. Ilusi, bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat. Ilusi, bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.

Kemudian peserta saya ajak membandingkan antara stimulus respon dengan teori pilihan. Lalu peserta saya tanya, “Siapa sebenarnya yang memiliki kontrol?” Peserta hanya tersenyum. Hhhh.

Peserta saya ajak kembali mencermati peta pikiran disiplin positif, teori kontrol/teori pilihan Dr. William Glaser. Dari situ peserta memahami bahwa tidak ada yang bisa mengontrol orang lain kecuali dirinya.  

Disiplin positif merupakan salah satu cara penerapan disiplin yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran serta memberdayakan peserta didik tanpa imbalan penghargaan (reward), ancaman atau hukuman.

Disiplin berasal dari kata “Disciplina” yang artinya belajar. Disiplin mengacu pada disiplin diri yang memiliki tanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya berdasarkan nilai-nilai yang diyakini.

Ibu bapak, tujuan kita adalah menciptakan peserta didik yang memiliki disiplin diri sehingga mereka berperilaku mengacu kepada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik dalam perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.

Nilai-nilai kebajikan yang ingin dituju anak Indonesia adalah Profil Pelajar Pancasila. Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, berkibenakaan global, gotong royong, dan kreatif.  

Teori motivasi, hukuman, penghargaan, dan restitusi

Ibu bapak, motivasi perilaku manusia seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, yakni ada tiga. Yaitu Untuk menghindari ketidaknyamanan/hukuman, untuk mendapatkan imbalan/penghargaan dari orang lain, untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.

Hukuman dan penghargaan merupakan identitas gagal. Hukuman itu menyakitkan, tidak nyaman, murid takut, memaksa, murid menyembunyikan kesalahan, murid menjadi rendah diri. Sedangkan penghargaan itu tidak efektif, merusak hubungan (sifat iri), mematikan kreativitas, menghukum dengan sistem ranking, merampas hak menghargai dirinya.

Konsekuensi dan restitusi merupakan identitas sukses. Konsekuensi memberikan penguatan jangka pendek, perlu monitoring berkelanjutan, stimulus (respon), murid menghormati peraturan, kehilangan waktu untuk merenungi kesalahan. Sedangkan restitusi menjadikan murid bertanggungjawab untuk perilakunya, fokus pada pemecahan masalah jangka panjang, murid menghormati dirinya dan orang lain, teori kontrol (dirinya memegang kontrol), murid bersemangat memperbaiki kesalahan.

Keyakinan Kelas

Saya memberikan pertanyaan pemantik, “Mengapa tidak peraturan saja, mengapa harus Keyakinan Kelas?”

Kemudian saya menambahkan pertanyaan, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan helm pada saat mengendarai kendaraan roda dua/motor? Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan masker dan mencuci tangan setiap saat?”

Setelah peserta menjawab untuk keselamatan dan kesehatan. Nilai keselamatan dan kesehatan muncul dari kesadaran diri atau sesuatu yang diyakini baik.

Sama halnya dengan di kelas. Tidak cukup hanya peraturan saja. Untuk mendukung motivasi instrinsik maka diperlukan keyakinan kelas. Keyakinan lebih menggerakkan seseorang dibandingkan dengan serangkaian peraturan,

Keyakian kelas itu bersumber dari peraturan kelas, kemudian kita ubah menjadi keyakinan kelas. Setelah diterapkan akan menjadi lingkungan yang positif. Pada akhirnya akan membentuk budaya positif.

Lalu, bagaimana pembentukannya? Dalam pembentukan keyakinan kelas hendaknya melibatkan murid. Kita lakukan curah pendapat peraturan kelas yang ada saat ini. Kemudian kita ajak membuat daftar peraturan kelas. Lalu peraturan tersebut kita ubah menjadi nilai apa yang dituju dari peraturan tersebut. Hasilnya merupakan keyakinan kelas.

Keyakinan kelas itu lebih abstrak, berupa pernyataan universal, dibuat dalam bentuk positif, butirnya sedikit saja biar mudah diingat, semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas, bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

Selanjutnya untuk memperdalam pemahaman murid terkait keyakinan kelas, kita dapat menggunakan tabel T dan Y. Tabel T membentuk huruf T. Dimana berisi keyakinan kelas dan tampak seperti serta tidak tampak seperti. Sedangkan tabel Y berbentuk huruf Y yang berisi uraian keyakinan itu terdengar, terlihat, dan berperilaku.

Kebutuhan Dasar Manusia

Ibu bapak, kebutuhan manusia adalah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia untuk mempertahankan keseimbangan kondisi fisiologis dan psikologis, yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan. Kebutuhan dasar manusia ada 5, antara lain: bertahan hidup, kasih sayang dan rasa diterima, kesenangan, penguasaan, dan kebebasan.

Ibu bapak, kita hendaknya memahami bahwa setiap manusia ingin memenuhi kebutuhan dasar tersebut. Jika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi yang terjadi adalah respon murid bisa dalam bentuk perilaku, kata-kata, tindakan atau perbuatan yang negatif.

5 Posisi Kontrol

Ibu bapak, dalam menjalankan disiplin positif yang berpusat pada murid, kita akan dikenalkan 5 posisi kontrol dengan pendekatan restitusi.  Menurut Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998), guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin selama ini. Apakah telah efektif, apakah berpusat, memerdekakan, dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui serangkaian riset dan berdasarkan pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.

Selanjutnya, peserta saya ajak mencermati video yang saya tayangkan. Peserta kemudian melakukan refleksi diri. Selama ini dalam menerapkan disiplin di kelas ternyata masih banyak yang menjadi penghukum, pembuat rasa bersalah, dan teman. Ibu bapak guru dengan muka malu-malu mengatakan sebenarnya, ternyata selama ini masih melakukan praktik yang belum sesuai dengan yang diharapkan.

Segitiga Restitusi

Ibu bapak, salah satu cara menerapkan disiplin positif adalah melalui restitusi. Restitusi dapat membimbing murid agar menjadi murid yang merdeka. Murid merdeka adalah murid yang mandiri, bertanggung jawab, dan bernalar kritis.

Ibu bapak, langkah-langkah segita restitusi antara lain menstabilkan identitas, memvalidasi tindakan, dan menanyakan keyakinan. Dalam beberapa kasus, penerapan segitiga restitusi tidak harus kaku. Penerapannya dapat menyesuaian dengan kondisi.

Contoh penerapan segitiga restitusi:

Pada tahap menstabilkan identitas, guru berkata:

Berbuat salah itu hal yang manusiawi

Tidak ada manusia yang sempurna

Bapak/Ibu juga buat salah

Kita pasti bisa menyelesaikan permasalahan ini

Bapak/Ibu tidak tertarik untuk mencari tahu siapa yang benar, siapa yang salah, Bapak/Ibu lebih tertarik untuk menyelesaikan masalah.

Kalau kamu menyalahkan dirimu sendiri terus menerus, apakah kamu bersikap baik pada dirimu sendiri?

Pada tahap memvalidasi tindakan, guru berkata:

Kamu bisa saja kan melakukan hal yang lebih buruk, tapi kamu tidak melakukannya kan?

Kamu pasti punya alasan mengapa melakukannya.

Apa yang penting bagi kamu?

Kamu boleh tetap berusaha menjaga sikap itu, tapi tambahkan sikap yang lain, yang baru.

Maukah kamu belajar cara lain untuk mendapat yang kamu butuhkan tanpa harus memukul?

Apakah kamu bisa melakukan dengan lebih baik besok lagi?

Pada tahap menanyakan keyakinan, guru berkata:

Apa nilai yang kita percaya di kelas/sekolah kita?

Nilai-nilai universal apa yang telah kita sepakati?

Kelas yang ideal itu seperti apa sih?

Kamu ingin jadi anak seperti apa?

Apa yang kamu rasakan? Ketika kamu melakukan itu, kamu  menjadi orang yang seperti apa?

Selanjutnya saya menyajikan contoh video ketika saya melakukan praktik segitiga restitusi.

Pada akhir diseminasi budaya positif. Peserta saya ajak untuk melakukan refleksi upaya mendisiplinkan murid selama ini. Ternyata banyak hal baru yang mengubah paradigma peserta dapatkan terutama dalam melaksanakan disiplin di kelas. Perasaan peserta senang, semangat, dan antusias untuk mengikuti mengikuti diseminasi budaya positif. Peran among yang telah lakukan selama ini ternyata ada yang menjadi teman, pembuat rasa bersalah, dan penghukum. Peserta setelah ini akan menjadi among yang mengontrol murid dengan cara manajer.

Reaksi:

Post a Comment

2 Comments

  1. Luar biasa dan sangat menginspirasi bpk, semoga sukses selalu bpk 👍🏻👍🏻👍🏻

    ReplyDelete