Kemarin Lusa, Cerita Mbah Guru

Kemarin lusa bagi saya benar-benar "Turnamen" ajang silaturahmi. Bagaimana tidak? Teman seperjuangan, para senior dunia pendidikan berkumpul jadi satu. Turnamen bukan tujuan utama bagiku. Tapi canda tawa, bercerita dan berbagi pengalaman menjadi topik paling menarik. 

Setiap kaki melangkah menyerupai semut. Berjabat tangan, tegur sapa, tanya kabar baik masing-masing. 

Saat bertemu Mbah Guru, beliau memelukku seperti ayah dan anak yang lama tak pulang. 
Rasa haru biru seketika menyerang otak kananku. Sementara sisi otak kiriku mulai mengembara pada cerita kerjasama yang dulu pernah kita kerjakan bersama.

Menurutku, Mbah Guru masih sangat semangat, masih kuat mengangkat raket untuk mempecundangi lawan main. Aku lihat raut mukanya masih tampak muda juga. 

Tak lama kemudian, Mbah Guru bercerita kalau bulan depan sudah purna tugas. Tentu aku terkaget dan tak percaya. 

"Mbah, apakah dulu kelahirannya dituakan?" Tanyaku menggoda.

"Ya, tidak. Sudah sesuai akta kelahiran sebenarnya. Masa kerjaku itu sudah empat puluh tahun." Jawabnya sambil memeluk pundakku yang agak kurus. 

Beliau memang menganggapku seperti anaknya. Sebab omku sendiri temannya sejak SMP 1 Bojonegoro. Jadi pembicaraan hangat dan terbuka sudah biasa bagi aku dan Mbah Guru.

"Om kamu juga sudah persiapan purna kan?" Mbah balik bertanya.

Hanya aku jawab dengan senyum 😁.

"Kalau sudah purna tugas apa akan ikut jadi dosen-dosen begitu, Mbah?" 
Tanyaku memantiknya. 

"Ya, tidak. Pemerintah sudah memberi perintah pensiun itu artinya disuruh istirahat menikmati hari tua. Orang kalau sudah tua itu sebaiknya membebaskan diri untuk urusan mengumpulkan harta dunia."  
Jawabnya menasehatiku. 

Tak lama menjawab. Temannya Mbah Guru yang sudah purna beberapa bulan menyalami kami berdua. Sambil tanya kabar dan bercerita. 

Sayang belum lama kami ngobrol sambil memberi nasihat dan motivasi kepadaku. Temannya Mbah Guru mohon pamit. Ada tamu yang menunggu kunci rumahnya yang di kota dua-duanya disewa orang katanya.  Setelah pamit. Spontan saja candaku sedikit nakal kepada Mbah.  

"Mbah, pasti punya banyak rumah juga?" 

Dengan senyumnya yang khas, Mbah Guru mengatakan kalau beliau tidak punya tabungan seperti orang-orang. 

"Aku itu punyanya tabungan sawah." 

"Lha, sawah malah lebih banyak Mbah. Setahun bisa panen tiga kali, Mbah."
Kelakarku sambil tertawa.

Mbah Guru bercerita, beliau bersyukur mampu membeli sawah yang lumayan luas. Setahun bisa dua kali panen padi dan sekali panen palawija. Mbah Guru menambahi ceritanya. Jika musim palawija kemarin menanam kacang hijau  modalnya sembilan ratus ribu. Beliau tanam sendiri. Setelah itu tidak beliau siangi rumputnya sampai panen. Katanya Mbah Guru, banyak tetangga sawah yang heran, Kok tidak disiangi rumputnya. Menurut Mbah guru, kacang hijau itu biji buahnya di atas. Sementara rumput di bawah. 

Kali ini aku tidak terkejut. Mbah Guru memang sedikit slengean. Bertani pun dibuatnya santai. Namun siapa kira, cerita Mbah Guru, setelah dipanen menggunakan mesin combi masih mendapatkan hasil duapuluh juta. 

"Apakah nanti akan bertani, Mbah?" Tanyaku menyambung obrolan sedari sebelumnya, seputar purna tugas. 

Menurut Mbah, bertani itu bisa jadi hiburan. Melihat tanaman hijau hati terasa tenang, asal tidak terlalu memikirkan susahnya. 🤭 Urusan yang mengerjakan kalau mampu ya dikerjakan sendiri. Kalau capek ya menyuruh orang. Gampang kan? Paling penting itu kalau sudah purna ya bermain sama cucu dan beribadah. 

Masih menurut Mbah Guru,  kelirunya orang-orang yang sudah purna baru memulai usaha. Untuk apa lagi katanya.
Reaksi:

Post a Comment

0 Comments