Rokim Itu Namamu

Sumber Kompas.com
"Mbak, cepat ya, ayam gorengnya!"
"Aku setelah magrib dapat undangan dari tetangga."

Permintaan lelaki muda pada penjual ayam goreng krispi di sebelah pertigaan jalan depan terminal tergesa.

Sambil tersenyum, penjual ayam itu membalas pembeli yang baru saja datang.

"Sabar ya, kalau tidak krispi rasanya kurang enak nanti. Bapak itu juga sudah antre dari tadi. Sabar sedikit, ya."

"Anakku menangis, Bu. Minta ayam goreng." Balas lelaki muda itu.

Jadi penjual apapun selain menjaga kwalitas produk juga harus ramah dan luwes sama pelanggan serta harus jujur tentunya. Opiniku singkat pada penjual ayam itu.

Selain memperhatikan pembeli yang ada di depanku. Pandanganku memperhatikan gerak-gerik dan perkataan polos lelaki yang ada di depanku. Aku seperti mengenalinya. Meski tak mudah mengingat namanya. Aku memastikan pernah dekat dengannya.

Beberapa menit pandanganku tertuju pada orang yang menuntun motor di seberang jalan. Sepertinya motornya mogok.

"Pak, aku bantu dorong motornya?" Lelaki muda itu menawarkan diri untuk membantu orang yang lewat itu.

Orang itu menjawab dengan isyarat. Bibirnya  berbisik, telunjuknya menunjuk tangki. Isyarat ini menunjukkan motor orang itu tidak perlu didorong karena masalahnya bahan bakarnya habis.

Setelah itu, tiba-tiba lelaki itu pun menghampiriku. Ternyata dia juga memperhatikanku dari tadi. Tangannya diulurkan padaku. Kata-katanya dibiarkan terlepas polos dan jujur. Dia mencoba menarik ingatanku yang sempat meragu.

"Pak, saya muridnya bapak dulu. Rokim. Rokim, Pak. Teman seangkatannya Edi, Wulan, Ani. Ingat kan, Pak?" 

Ternyata untuk mengingat  seseorang bisa saja mengingat subjek lain yang bersamaan dengan situasi pada saat itu. Misalnya teman-teman yang terkenal pada saat itu. Semua temannya yang paling pinter dan paling nakal disebutnya.

Benar juga pikiranku dari tadi. Ternyata lelaki itu muridku di SDN Belun dulu. Dulu dia gemar bersih-bersih kelas dan taman. Dia suka menawarkan diri membantu pekerjaan bersih-bersih. Kemampuan akademiknya memang agak lambat. Tapi dia termasuk murid yang sangat hormat dan takzim sama guru. Dia juga tidak pernah membantah perintah guru.

"Ingat. Aku ingat. Hanya lupa namanya. Ya, Rokim. Bagaimana kabarnya?" Tanyaku membalasnya.

"Anak saya satu, Pak, tapi sering keluar masuk rumah sakit. Itu lho, Pak. Step. Sering step." Rokim menjelaskan kondisi anaknya dengan jelas.

"Sekarang?" Tanyaku memperjelas lagi.

"Alhamdulillah sehat, Pak."

"Saya sekarang kalau pagi jualan sayur. Siangnya jasa penggilingan padi keliling. Kadang-kadang juga nyopir sesuai pesanan. Alhamdulillah, Pak. Kerja saya serabutan. Jual beli padi dan jagung juga. Tapi untuk giling padi sudah punya saya sendiri. Truk juga punya sendiri." Rokim menyampaikan dengan jelas kesibukannya.

"Alhamdulillah, sukses sekarang. Bersyukur rizkinya melimpah. Oh ya, untuk anakmu selalu siapkan obat penurun panas. Kalau panas kompres pakai air hangat." Jawabku kagum dan sekaligus memberi nasihat.

Kemudian dia balik tanya lagi. "Sekarang masih di Belun, Pak?"

"Aku sudah tidak di Belun lagi." Jawabku singkat.

"Tapi sudah diangkat kan, Pak?" Rokim ternyata sudah banyak bertanya. Padahal dulu tidak pernah sama sekali dapat mengajukan pertanyaan. Jawabku 😚.

"Alhamdulillah."

Reaksi:

Post a Comment

0 Comments