![]() |
Gambar Guru dan Anak-Anak |
Lebih dari seperempat
abad silam, tepatnya tanggal 8 September 1964, Organisasi Pendidikan
Keilmuan dan Kebudayaan PBB atau dikenal dengan United Nations
Educational, Scientifik and Cultural Organization telah menetapkan 8
September sebagai hari Literasi Internasional. Penetapan tersebut dilakukan
untuk mengingatkan dunia, termasuk kita yang tinggal di Indonesia akan arti
penting budaya baca-tulis. (jateng.tribunnews.com/9/9/2016).
Diberitakan dalam
(republika.co.id/1/8/2015) Hasil studi the Organisation for Economic
Cooperation and Development (OECD) melalui program PISA-nya
menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam bidang literasi masih tertinggal
dari negara lain, berada pada ranking 61 pada 2012. Hanya 1,5 persen siswa
Indonesia yang mencapai level empat, sisanya pada level tiga ke bawah dari
tujuh level penjenjangan program PISA. Hal ini berarti, hanya 1,5 persen siswa
Indonesia yang punya kemampuan menjawab soal yang perlu pemikiran, sisanya pada
peringkat kemampuan menjawab soal hafalan. Siswa Indonesia lebih mampu
menghafal daripada berpikir.
Sebuah solusi dari
pemerintah melalui Kementerian pendidikan dan kebudayaan dengan menerbitkan
Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti. Permendikbud
tersebut sebagai upaya penumbuhan budi pekerti pada anak. Penumbuhan budi
pekerti melalui membaca buku-buku cerita rakyat, dongeng lokal, buku yang
menginspirasi seperti buku biografi tokoh, dan buku sejarah yang membentuk
semangat cinta tanah air sehingga anak-anak termotivasi untuk membaca dan
menulis.
Di dalam Permendikbud
tersebut terdapat penjelasan bahwa sekolah hendaknya memfasilitasi secara
optimal agar siswa bisa menemukenali dan mengembangkan potensinya.
Dengan menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain
buku mata pelajaran (setiap hari).
Kondisi sekolah yang
sangat beragam dan kelengkapan sarana dan prasana yang berbeda pula. Sebagian
sekolah sudah memiliki perpustakaan yang lengkap dengan koleksinya. Ada pula
yang memiliki perpustakaan tetapi tidak dilengkapi pengelolaan yang baik.
Sebagaian yang lainnya tidak memiliki koleksi buku perpustakaan sama sekali.
Lalu apa yang harus dibaca? Maka dalam kegiatan literasi diperlukan buku-buku
yang sesuai dengan kebutuhan siswa, sesuai dengan kemampuan membaca siswa, dan
terdapat muatan nilai-nilai budi pekerti yang berkarakter.
Tidak bisa dipungkiri
spirit Permendikbud tentang penumbuhan budi pekerti khususnya literasi disambut
positif oleh banyak kalangan. Namun demikian banyak guru yang masih awam
melaksanakan kegiatan pembiasaan literasi itu sendiri. Parahnya siswa hanya
diminta membaca buku begitu saja. Tidak peduli buku yang dibaca sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan siswa atau tidak. Betapa menderitanya siswa yang belum
lancar membaca jika tidak tepat memilih buku yang dibacanya.
Untuk mengetahui
keberhasilan kegiatan membaca siswa, apa yang dapat dijadikan alat ukurnya.
Apakah diperlukan alat evaluasi untuk mengukur keberhasilan siswa setelah membaca.
Jika itu ada tentu akan diketahui adanya peningkatan atau ketercapaian sebuah
kompetensi.
Faktanya setelah
pelaksanaan kegiatan membaca selesai ya selesai begitu saja. Dampak buruknya
jika dibiarkan lambat laun anak akan merasa bosan dan tidak termotivasi untuk
membaca. Sehingga sangat dimungkinkan tumbuhnya budi pekerti melalui kegiatan
literasi akan terhambat.
Selama ini kegiatan
literasi dilaksanakan selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Siswa dapat
membaca buku apapun sesuai dengan minatnya. Banyak guru-guru yang kesulitan
melaksanakan kegiatan pembiasaan tersebut. Hal ini dikarenakan banyak sekolah
belum memiliki petunjuk dan panduan yang jelas dan terarah untuk
mengimplementasikan kegiatan pembiasaan membaca tersebut. Dampaknya banyak ditemui
kegiatan literasi yang dilaksanakan oleh guru-guru terkesan asal-asalan.
Misalnya guru memberikan tugas siswa untuk membaca buku diperpustakaan selama
15 menit. Siswa bebas membaca apapun yang disukainya. Sehingga anak hanya
membolak-balik buku melihat gambar saja.
Maka untuk menjawab
berbagai persoalan yang ada sebuah alternatif yang dapat dijadikan sebagai
pertimbangan untuk melaksanakan kegiatan literasi sekolah adalah buku bacaan
berjenjang.
Buku ini disusun oleh
yayasan literasi Indonesia yang terpusat di Bali. Dilihat dari segi ukuran buku
bacaan berjenjang terdapat dua buku, yaitu buku besar dan buku berjenjang. Ada
3 strategi dalam melaksanakan kegiatan membaca buku, yaitu: membaca bersama,
membaca terbimbing, dan membaca mandiri.
Untuk mengetahui
hasilnya maka dalam kegiatan membaca bersama difokuskan pada 4 ketrampilan,
yaitu ketrampilan memprediksi, ketrampilan kosa kata dan tanda baca,
ketrampilan memahami isi bacaan dan ketrampilan merangkum.
Kelebihan dari kegiatan
membaca dengan buku bacaan berjenjang adalah bukunya sesuai dengan kebutuhan
siswa dan atau sebaliknya yaitu siswa dapat menyesuaikan buku yang dipakai
dengan jenjang kemampuannya. Antusiasisme siswa yang tinggi dengan adanya
buku-buku yang relevan dengan usianya, banyak gambar-gambar yang dapat menarik
perhatian siswa. Kekurangan buku bacaan berjenjang lebih cocok untuk siswa
kelas 1-3 sekolah dasar.
Terlepas dari kelebihan
dan kekurangannya buku tetap menjadi sarana penting untuk pencerdasan, banyak
orang pintar karena baca buku. Oleh karena itu budaya baca harus ditanamkan
pada anak sejak dini. Apakah melalui buku bacaan berjenjang semangat membangun
budaya literasi akan tumbuh dan berkembang sehingga tumbuh pula budi pekerti
yang berkarakter?