Bintang di Hati

Langkah kaki masih terus berjalan. Dua mata enggan berkedip tertuju pada awan hitam. Bulir-bulir bening mengalir perlahan di hidung yang mungil. Roman muka yang tak mampu bersembunyi dari kegelisahan. Sabar dan sabarlah hati. Sahabat itu bagai sepasang burung yang terbang di antara dahan-dahan. Kadang terbang mendekat pun tiba-tiba melampaui batas mata memandang.

Gadis kecil ini berawak semampai. Dagunya lancip. Hidungnya mungil. Rambutnya hitam bersinar.  Awal bulan Mei Sifa sudah 12 tahun menghirup segarnya alam perdesaan. Selama itu pula Sifa menetap di sisi selatan pegunungan kendeng.

Sifa sangat bersyukur memiliki teman sebaya yang sangat dekat.  Di mana ada Sifa di situ ada kembarannya. Dialah Talia. Meski bukan saudara, banyak kemiripan di antara keduanya. Teman-temanya menjuluki planet kembar.

Pagi itu Sifa tampak bengong saat membuka mata.  Beberapa kali matanya dipejamkan lalu dibuka lagi. Kemudian matanya dipejamkan lagi cukup lama. Jari telunjuknya diusap-usapkan di antara kedua alisnya yang mengkerut. Pikirnya masih gulana.

"Ehemmm, tadi malam ayah yang memindahkan kamu ke kamar sayang." Ayah menyapa dengan bibir simetris terbuka satu centi ke kanan dan satu centi ke kiri.

"Maaf, ya, Ayah. Tadi malam Sifa ketiduran." Jawab Sifa.

"Iya, ayo bereskan tempat tidurmu dan segera salat subuh!" Perintah ayah.

"Iya, Yah."

Sifa membereskan tempat tidurnya dan berjalan menuju musala rumahnya. Sifa salat berjamaah bersama ayah dan ibunya.

Salat subuh pun usai, Sifa menyempatkan diri untuk membaca buku cerita kesukaannya. Kemudian tiba-tiba gawainya berdering.

"Kringgg kringgg kring."

"Halo, Assalamulaikum."

"Waalaikumussalam."

"Ini Talia, kan?"

"Iya, oh ya kita jadi lari pagi, kan?"

"Jadi dong."

"Aku tunggu di depan rumah ya, Fa."

"Iya."

Sifa segera bersiap dan pamitan pada ayah ibu.
"Sifa berangkat dulu, ya, Ayah Ibu."

"Iya,  hati-hati, Sifa."

"Siap, Bu."

Sampailah Sifa di depan rumah Talia.

"Ayo berangkat!" Ajak Talia dengan semangat.

"Yuk." Jawab Sifa.

"Ayo dong lari yang kencang supaya cepat sampai tujuan." Ucap Talia sedikit ketus.

"Kelihatannya aku nggak kuat deh." Jawab Sifa yang napasnya ngos-ngosan.

"Ya sudah, kita istirahat dulu, yuk." Jawab Talia.

Mereka berdua duduk di pinggir sekolah yang gerbangnya masih tertutup rapat. Hari sudah menjelang pagi. Sinar Matahari sudah tampak kuning keemasan. Semburat kemerahan di cakrawala mulai memudar.

"Eh, kok sudah pagi, Fa."

"Iyaaa kok sudah pagi, ya. Cepat amat."

"Kita lanjutin perjalanan aja kalo gitu!" Ajak Talia.

"Iya deh." Jawab Sifa lemas.

Sambil berlari santai, Talia mengobrol dengan Sifa.

"Fa, besok kan pengambilan rapor pasti aku yang menjadi juara kelas." Ucap Talia dengan nada yang sombong.

Memang itulah sifat Talia. Dia memang pengertian tapi selalu asal bicara tanpa tau itu menyinggung perasaan orang lain atau tidak.

"Iya, pasti kamu kok yang jadi juara kelas mana mungkin aku." Jawab Sifa mengalah.

Tak lama kemudian mereka sampai di rumah masing-masing. Sifa menginjakan kakinya di rumah. Sebelum masuk rumah dia tak lupa untuk mencuci tangan.

"Bu!"

"Udah pulang, Nak?"

"Iya, Bu."

"Sifa tadi udah mandi, kan?"

"Udah dong, Bu. Sifa ke kamar dulu, ya?

"Iya sayang."

Tak seperti biasanya. Sifa memikirkan perkataan Talia teman sebayanya yang dianggapnya adalah saudara. Sifa takut apabila besok pada pembagian rapor dia yang menjadi juara kelas.

Sifa merenunggg merenunggg dan terus merenung. Mata Sifa menatap kaca jendela dan membelai boneka pink di sebelahnya.
Pada keesokan harinya ibu mengajak Sifa, "Sifa, ayo berangkat sekolah!"

"Iya, Bu."

"Semangat dong sayang kan mau terima rapor. Siapa tau kamu yang menjadi juara kelas?" Ibunya menyemangati.

"Iya, Bu."

Sesampainya di sekolah. "Selamat pagi, Talia." Sapa Sifa pada Talia.

"Pagi" Jawab Talia sinis  tak seperti biasanya.
Hari ini semua orang tua harus datang ke sekolah untuk menerima rapor siswa. Para orang tua wali sudah masuk di ruangan kelas dan siswa disuruh menunggu di luar kelas.

"Tal, ke kantin, yuk!" Ajak Sifa.

"Males." Jawab Talia ketus.

"Aneh tak seperti biasanya." Ucap Sifa dalam hati.

Bukan ke kantin bersama Sifa melainkan Talia ke kantin bersama Puput teman barunya.

"Ta, emangnya kamu nggak takut?" Tanya Puput.

"Takut kenapa?"

"Siapa tau Sifa menjadi bintang kelas, terus muka kamu mau kamu taruh ke mana?"

"Nggak mungkinlah pasti yang jadi bintang kelas aku lagi. Tahun kemarin aku yang jadi bintang kelas, kan?"

"Iya deh moga-moga kamu."

"Gitu dong."

Beberapa jam kemudian, "Sifaaa, sini, Nak!"
"Loh, Bu emangnya udah selesai nerima rapornya?"

"Udah."

"Aku dapet juara berapa?" Tanya Sifa bergembira.

"Kamu jadi bintang kelas, Nak. Selamat, ya." Sambil mencium kening Sifa.

Sifa sangat senang bisa membanggakan kedua orang tuanya tapi Sifa pasti akan kehilangan sahabatnya. Di sisi lain Talia mendapat juara dua. Hal itu menyebabkan Talia iri dan enggan bersahabat dengan Sifa.

Sejak kejadian itu Talia menjaga jarak dengan Sifa. Setiap harinya Sifa merasa hampa karena tidak punya sahabat lagi. Dia hanya termenung di kamar sambil memikirkan Talia. Mata Sifa terus menatap langit yang gelap dan menitipkan satu tetes air mata untuk sahabatnya. Sifa tak habis pikir. Sabatnya kini menjauh darinya karena merebut prestasi.

Pada malam harinya, "Fa, ini ibu buatkan susu." Sambil mengetuk pintu kamar.

"Iya." Sifa membuka pintu.

"Kamu kenapa? Cerita dong sama ibu!"

"Sifa nggak papa kok, Bu."

"Sifa, saya ini ibu kamu, jadi saya tau kamu sedang bersedih atau tidak." ucap ibu menerangkan.

"Sifa kehilangan sosok teman yang Sifa anggap seperti saudara Sifa sendiri." Ucap Sifa sedih.

"Apa yang kamu maksud Talia?" tanya ibu.

"Emmm tap," belum selesai Sifa bicara ibu menyangkal.

"Ibu tau pasti Talia marah sama kamu gegara kamu jadi bintang kelas, kan? Ayo jujur sama ibu!"

"Iya, Bu" Jawab Sifa seakan tak berdaya lagi.
"Udah deh nggak usah dipikir mesti Talia marah sama kamu nggak akan lama." Ucap ibu menenangkan.

Kemudian ibu keluar dari kamar Sifa sambil mengucapkan, "Selamat malam."

Hari libur telah tiba. Sifa berpikir bahwa Talia sudah tak marah padanya meski hari-hari ini tak ada komunikasi sama sekali terhadap keduanya. Tapi yang dipikirkan Sifa salah. Talia masih tak mau berbicara pada Sifa.

Sudah hampir satu minggu libur, Talia masih saja berdiam diri di rumah. Padahal Sifa sudah mencoba meminta maaf lewat pesan WA.

"Huh, sudahlah. Mungkin Talia sudah bosan berteman denganku." Ucap Sifa dalam hati.
Dia pun mulai tidur di kasurnya yang empuk karena hari sudah malam.

"Assalamualaikum."

"Waalikumsalam." Jawab ibu.

Sifa yang masih tertidur di kamarnya pun bangun. Setelah ibu membuka pintu ternyata Talia ada di situ. Betapa girangnya Sifa. Sifa pikir Talia ingin meminta maaf padanya tetapi kali ini dugaan Sifa salah lagi. Talia hanya ingin mengantarkan uang arisan milik mamanya pada ibu Sifa.

Sifa kembali ke kamar dengan pucat. Lalu dia kembali berbaring di atas kasurnya. Tak terasa Sifa terbangun suasana sudah sore.

"Buuu ibu."

"Iya, Fa."

"Bu, kok udah sore?"

"Iya tadi kamu ketiduran tapi ibu kasihan mau bangunin kamu takutnya kamu lagi capek."

"Oh, gitu."

"Mandi sana!"

"Iya, Bu."

Sehabis mandi Sifa ganti baju dan berdandan di depan cermin. Usai itu, dia menjemur handuknya. Gawainya terus berdering. Sifa tak menghiraukannya karena dia pikir itu bukan telepon dari Sahabatnya.Ternyata setelah ia membuka WA ada pesan dari Talia sahabatnya itu.

Pesan dari Talia, "Maafkan aku ya, Fa. Sikapku begitu egois padamu. Mungkin kamu sudah tak mau berteman lagi denganku. Sekali lagi maafkan aku, ya!"

Sifa langsung menelepon Talia.
Sifa, "Halo, aku Sifa aku nggak marah kok sama kamu, Ta. Malahan aku seneng kamu udah mau minta maaf. Kalo aku ada salah tolong maafin aku ya."

Talia, "Iya, kamu nggak salah kok aku yang salah di sini seharusnya aku tak marah bila kamu yang menjadi juara kelas."

Sifa, "Iya, ya udah jangan dibahas lagi kita masih sahabatkan?"

Talia, "Ya, iya dong."

Sifa, "Ya udah Asalamualaikum nanti kita ke taman yuk!"

Talia "Iya deh, daaa."

Waktu terus berjalan, mereka kembali seperti biasanya tanpa ada ganjalan apa pun. Sahabat kadang seperti bintang di siang hari, tak terlihat tapi selalu ada. Tak perlu persaingan di antara keduanya. Persahabatan hanya perlu saling mengerti dan memahami.

Karya : Jacinda Nala Lexandra
Editor : Azam
Reaksi:

Post a Comment

0 Comments