Kisah Roka-Roka Coklat ke Jakarta

Ilustrasi Akang Azam
Siang itu Kang Azam terperangkap badai menjemukan. Gerutunya bersungut-sungut mendengar pesawatnya delay lebih dari satu jam lagi. Ia mulai berjalan ke sana ke mari. Sebentar-sebentar melihat jam tangan sambil menahan napas beberapa detik. Dalam kecemasan itu, Ia berharap tidak terlambat mengikuti kegiatan pembukaan di Jakarta.

Kang Azam mencari cara mengusir penat. Ia mencari tempat duduk yang ada sandarannya. Matanya tertuju pada sofa panjang hijau tosca berada 15 meter tak jauh dari tempatnya berdiri.

Tas ransel butut berwarna hitam diletakkan di samping sofa tempat Kang Azam duduk. Tangannya mecari buku yang belum habis ia baca. Buku sampul merah itu memang istimewa buatnya, ke mana pun pergi selalu dibawa. Sayangnya Kang Azam belum sempat membaca seluruh kalimat yang tertata rapi di dalamnya.

Bait-bait puisi mulai memapar emosi Kang Azam. Roka-roka coklat kesukaannya mulai dikunyah seirama emosinya. Terkadang cepat-cepat ia kunyah, tiba-tiba terhenti. Sesekali ia melihat perempuan berkerudung merah jambu yang dari tadi duduk di sampingnya tersenyum sambil makan roka-roka bersama.

Buku sampul merah pun hampir selesai dibaca Kang Azam. Entah berapa banyak puisi yang ia cecapi bersama roka-roka. Keningnya mulai mengernyit, hati Kang Azam mulai beradu tanya, "Dasar perempuan tak tahu malu, makan roka-roka tak minta izin."

Waktu delay satu jam sudah terlewati, Kang Azam mulai bangun dari tempatnya bersandar. Matanya melirik ke bungkus roka-roka. Roka-roka itu bersisa satu. Dengan buru-buru Kang Azam memasukkan tangannya ke bungkus roka-roka. Sayang, perempuan di sampingnya lebih dulu mengambilnya. Dengan senyum tertahan perempuan itu membagi dua roka-roka itu kepadanya. Kang Azam dengan muka ditekuk menolaknya. Lalu menawarkan untuk perempuan itu saja. Perempuan itu pun dengan sopan mampu membujuknya untuk dimakan bersama.

Suara perempuan terdengar nyaring mengumumkan persiapan untuk keberangkatan. Kang Azam bergegas berdiri menuju pesawat. Jalannya cepat tak sabar untuk segera tiba di Jakarta. "Kursi dekat jendela telah menantiku dari tadi," gumam Kang Azam. Tas ransel hitam mulai diangkat dan diletakkan ke atas kabin. Betapa kagetnya ketika meraba saku tas Kang Azam, "Bukankah roka-rokaku sudah habis kumakan bersama perempuan tadi? Ini kok masih ada sebungkus dan utuh, berarti tadi?"

Dengan perasaan bersalah dan menyesal, Kang Azam menyandarkan kepalanya di jendela pesawat. "Bagaimana caraku meminta maaf, sedangkan aku tak mengenalinya?" Dalam hati Kang Azam menyesal dan berdoa semoga dapat bertemu lagi.

Satu jam lima menit, pesawat telah membawanya ke atas langit Jakarta. Sesaat lagi awak pesawat mengumumkan untuk memakai headset. Pesawat mulai berputar-putar merendah dan terlihat berkelok-kelok sungai di Jakarta.

Setibanya di bandara, Kang Azam merasakan senang dan bahagia. Napasnya ditarik panjang. Roman mukanya merah cerah. "Akhirnya sampai juga di Jakarta," ucapnya.

Sambil menunggu Grab, Kang Azam memesan kopi di salah satu kedai bandara. "Bapak, selamat datang di Jakarta," suara itu muncul dari belakang punggungnya. Betapa kagetnya ternyata suara itu sama dengan yang tadi siang. "Terima kasih. Saya minta maaf ya atas ketidak sopananku makan roka-rokamu," pinta Kang Azam. "Tidak apa-apa, kita sama-sama ke Days Hotel Suites Tangerang?" Sergah perempuan itu. "Ayo cepat diminum kopinya sebelum terlambat," ajak perempuan itu sambil tersenyum. "Baiklah, terima kasih Tuhan telah mengabulkan doaku untuk meminta maaf, " dalam hati Kang Azam bersyukur.
Reaksi: