Akhir-akhir
ini, dunia maya seperti penuh dengan informasi sampah. Dinding FB, WAG hampir
tiap saat berisi informasi yang belum tentu kebenarannya. Banyak sekali berita
hoax dan propaganda yang viral.
Ada sebuah ungkapan yang tidak asing di dunia jurnalis adalah, "Bad news is good news."
Berita
buruk adalah berita yang bagus. Maksudnya adalah dengan adanya berita
buruk membuat lebih banyak orang yang tertarik untuk membaca. Keuntungan bagi
pembuat berita dapat meningkatkan rating dan pendapatan. Maka tidak heran
jika banyak berita buruk yang tersebar di dunia maya. Selain ada yang gemar
memroduksinya, ada pula yang gemar membaginya. Jadi, setali tiga uang.
Tidak
disadari informasi yang bersifat negatif lebih menarik dibandingkan dengan
informasi yang bersifat positif. Berita buruk dan hal-hal yang
membahayakan justru lebih cepat direspon. Hal ini, karena bagian otak
manusia yang merespon negatif lebih sensitif dibandingkan dengan bagian otak
yang merespon positif. Demikian inilah yang disebut dengan bias negatif.
Menurut teori Triune Brain, Paul D McLean seorang pakar
neuroscients mengatakan bahwa otak manusia berevolusi melalui tiga fase: fase
awal yang disebut juga dengan otak reptil (lizard), fase kedua yaitu otak
limbik (perasan dan emosi) dan fase ketiga yaitu neocortex (kecerdasan). Dengan
kata lain, manusia memiliki tiga otak, yaitu otak reptil, limbik, dan
neocortex.
Otak reptil manusia akan aktif ketika berbahaya atau
terancam. Bekerjanya menyerang atau bertahan. Sangat mirip dengan perilaku
binatang. Pada saat otak reptil aktif otak neocortex tidak aktif. Oleh karena
itulah, secara insting manusia lebih memperhatikan berita atau kabar
buruk.
Ciri-ciri lain otak reptil adalah: persaingan, a moral, tidak
beretika, tak kenal tata krama, mementingkan diri sendiri terutama tubuh (somatic or survival), rakus atau
serakah, selfish, tidak
perduli dengan lingkungan, tidak mengenal benar salah, teritoriality, tidak mau bertanggung
jawab, menyalahkan orang lain.
Bisa
dibayangkan kalau terlalu banyak berita negatif memenuhi dunia maya. Kondisi
sosial akan menjadi kacau. Kehidupan sosial jauh dari kata tenteram. Bahkan
akhir-akhir ini kehidupan berbangsa terganggu.
Maka, berhati-hati, cermat, dan tidak grasah-grusuh dalam berinternet itu penting.
Pernahkah
menemukan informasi yang membuat salah paham? Konten hasil jiplakan,
berita palsu, hoax.
Kemudian ikut menelan mentah-mentah konten itu, memercayai, bahkan
menerapkannya. Ketika informasi diserap dengan kesalahpamahaman maka yang
terjadi adalah
disinformasi.
Disinformasi
memang sengaja dibuat untuk memanipulasi seseorang secara rasional. Akibatnya
banyak yang percaya begitu saja. Konten-konten yang salah itu dapat menimbulkan
kesalahpahaman. Bahkan bisa menimbulkan fitnah. Bukankan fitnah lebih kejam
dari pembunuhan?
Zaman
dahulu, fitnah sebarannya satu kampung. Zaman digital, fitnah bisa keliling
dunia. Siapa pun bisa membagi dengan cara sekali klik. Parahnya, akan menjadi jejak
digital. Korbannya sudah lupa dan memaafkan pun jika dicari di google akan
ketemu lagi.
Jika
mendapatkan berita tentang aib seseorang, lalu ikut menyebarluaskan, maka akan
mendapatkan keburukan juga. Jika beritanya salah jadi fitnah, sedangkan jika
berita benar akan menjadi gibah. Serba salah dan tidak ada baiknya.
Selain
fitnah dan gibah, berinternet dan bermedsos juga bisa menimbulkan konflik
sosial. Adanya informasi yang salah kaprah, jika dijadikan bahan perdebatan
bisa jadi konflik sosial. Salah satu contohnya konflik sosial di Ambon.
Nah, jika pernah
mengalami perdebatan di medsos sebaiknya stop karena tiada guna.
Apabila
menemukan berita buruk, tetaplah tenang. Berikan respon dengan kepala dingin
dan logika yang bersih. Sehingga tak salah langkah dalam mengambil keputusan
berikutnya.
Jadilah
warganet yang saleh nun cerdas. Caranya berikan perhatian pada hal-hal yang
bersifat positif. Apresiasilah berita-berita positif agar pikiran ternutrisi
dengan seimbang. Jika pun mendapati berita buruk cukuplah berhenti dan tak
perlu disebarkan.
Sumber Bacaan:
Nur Hakim, Irfan.2018. Akhlak Nge-Medsos: Panduan Menjadi Netijen Shaleh. Tangerang Selatan: Yayasan Islam Cinta Indonesia
https://sbm.binus.ac.id/2017/02/01/mau-pilih-mana-perilaku-otak-reptil-atau-neocortex-part-3/